Title : a Day in Our Life
Type : Multichapter
Chapter : Enam
Author : Opi Yamashita
Genre : Family, Friendship, Romance
Ratting : PG
Fandom : JE
Starring : Sho Sakurai, Matsumoto Jun (Arashi), Daiki Arioka (HSJ), Nakayama Yuma (NYC), Opi Yamashita (OC), Ikuta Din (OC), Yanagi Riisa (OC), Saifu Suzuki (OC), dan orang numpang lewat…
Disclaimer : Semua tokoh bukan kepunyaan saia. Sho Sakurai, Matsumoto Jun, Daiki Arioka, Nakayama Yuma kepunyaannya JE dan ibu bapaknya. Opi Yamashita, Ikuta Din, Yanagi Riisa, Saifu Suzuki hanya OC. Sangat terinspirasi dari dorama Watashi ga Renai wa dekinai Ryuu dan manga Ai no Moto ni Tsudoe karya Miku Sakamoto. Ini hanya fanfic..jadi nikmati saja ahahaha… Jangan lupa komen yah..Aku seneng ada yang baca, tapi lebih seneng ada yang komen ehehehe…
Douzo…
A Day In Our Life
~ Chapter 6 ~
Opi terduduk di atas tempat tidurnya. Nafasnya tidak beraturan seperti habis berlari di lapangan luas. Sedikit keringat mengalir dari keningnya dan tubuhnya terasa panas.
“Mimpi itu lagi..” gumamnya.
Gadis itu melirik sebentar ke arah jam weker nya. Pukul 08.00 pagi.
“Aku terlambat memasak. Tapi biarlah,” ucapnya lagi pelan.
Ia sibakkan selimut yang menutupi tubuhnya kemudian membuka gorden yang menutup jendelanya. Sinar matahari yang berlomba masuk ke kamarnya, membuat mata Opi sedikit menyipit. Sangat silau.
Setelah meregangkan sedikit otot-ototnya, gadis itu lalu keluar kamarnya. Tenggorokannya terasa kering dan ia membutuhkan segelas air minum.
“Sudah bangun? Tidak kuliah?” tanya Opi saat ia melihat sosok Din sedang tidur-tiduran di sofa.
“Bangun? Aku baru saja akan tidur,” ralat Din dengan mata terpejam. “Tugasku semakin merajalela sampai-sampai mengorbankan waktu tidurku.”
“Makanya dikerjakan. Bukan dilihat saja,” timpal Opi sambil berjalan ke arah dapur.
“Hah? Lalu selama ini aku ngapain sampai-sampai tidak tidur? Mengerjakan semuanya, Opi..” Din membela. “Oia, tumben sekali bangun siang?”
“Aku kecapean,” jawab Opi asal. “Siapa yang tadi membuatkan mereka sarapan?” Opi bertanya tentang sarapan Riisa dan Saifu yang memang biasa ia kerjakan.
“Tentu saja aku yang membuatkan.” Din menjawab.
Opi memutar kepala lalu menatap Din tajam. “Kau yang membuat? Apa yang kau buat? Makanan kan?”
Din membuka mata lalu mendelik ke arah Opi. “Tentu saja makanan. Kau pikir aku membuat racun. Kalau hanya sekedar membuat roti bakar, aku juga bisa.”
“Aku kan hanya bertanya.”
Meledek Din adalah hiburan Opi di pagi hari. Tidak ada satupun orang yang tahu tentang kenyataan itu.
“Kau tidak kuliah?” tanya Opi lagi.
“Sebentar lagi. Aku ingin tidur 1 jam,” ucap Din. “Dan jangan menggangguku.”
Opi mengangkat bahu lalu melengos ke kamar mandi.
—————–
“Ohayou…”
Din menoleh ke arah panggilan itu setelah ia menguap karena masih mengantuk.
“Ternyata sensei..aku pikir siapa,” ucap Din cuek saat melihat yang memanggilnya itu adalah Tegoshi Yuya.
“Kau tidak tidur? Menguapmu itu besar sekali. Sepertinya burung pun bisa masuk,” ledek Yuya.
Din mengerucutkan bibirnya. “Itu tidak lucu sensei.”
“Ini..” Yuya lalu menyerahkan sekaleng kopi pada Din. “Jangan tidur saat kuliahku.” Dan Yuya pergi begitu saja meninggalkan Din.
Gadis berambut panjang itu mengerutkan keningnya. Ada yang salah dengan dosennya itu. Rasanya tidak mungkin dia sebaik itu padanya.
“Aku tidak peduli. Yang penting aku diberi kopi. Gratis pula,” gumam Din senang. “Beruntungnya aku…”
Jadwal kuliah Din sebenarnya tidak begitu padat. Hanya saja ia masih mempunyai tugas yang harus segera ia kerjakan. Dan harus cepat ia selesaikan karena nanti sore ia ada kerja sambilan.
“Aku mengerjakan ini saja dulu,” ucap Din pelan. Sekarang ia sedang menyendiri di perpustakaan. Dengan suasana yang hening, ia dapat lebih mudah berkonsentrasi.
1 jam….
Din tertunduk mengetik tugasnya dengan serius.
2 jam….
Din makin tidak bisa diganggu.
2 jam 30 menit….
Din tidak dapat mendengar apapun karena terlalu serius mengerjakan tugasnya.
3 jam….
“Aku capek,” keluh Din sambil memutar kepalanya yang pegal. “Dan lapar..” ia merasakan perutnya mulai berbunyi.
Saat Din akan membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja, ia menemukan sebungkus roti dan sekaleng minuman di belakang notebooknya. Din tidak tahu itu milik siapa. Tapi saat melihat makanan di hadapannya membuat bunyi perutnya menjadi-jadi.
“Seandainya itu punyaku..”
Sesaat Din melihat ada secarik kertas di samping makanan itu. Lalu ia membacanya.
To : Din
Jangan lupa makan…
“He? Untukku? Dari siapa?”
Tidak ada tulisan apapun yang tertera untuk menunjukkan pengirimnya.
“Hina-san, kau tahu siapa yang meletakkan ini?” Din bertanya pada penjaga perpustakaan yang sangat ia kenal.
“Hmm…sepertinya Matsumoto-sensei,” jawab Hina-san.
“Matsumoto-sensei?” Din merasa hatinya berbunga-bunga saat mendengarnya.
“Tadi saat aku baru kembali dari membeli makanan, aku melihat Matsumoto-sensei ada di dekat tempat kau duduk itu sambil meletakkan makanan,” jelas Hina-san.
“Arigatou, Hina-san…”
Tidak dapat digambarkan bagaimana perasaan Din saat ini. Seperti berada di taman bunga dan dikelilingi kupu-kupu yang indah lalu terjadi hujan uang dengan tiba-tiba. Rasanya bahagia sekali.
“Aku harap tugas akhirmu dapat seindah perasaanmu sore ini, Din. Sampai kau senyum-senyum sendiri seperti itu.”
Suara Yuya menyadarkan Din dari imajinasinya di taman bunga itu. Sosok yang sebenarnya tampan tapi menyebalkan itu sedikit menurunkan semangatnya.
“Tegoshi-sensei merusak mimpiku saja,” Din melengos ke arah berlawanan dengan jalan yang diambil Yuya.
“Kau mau kemana?” tanya Yuya.
Din berbalik. “Kerja sambilan. Sensei pikir aku orang yang punya waktu luang banyak. Matta ne.”
“Din…” Yuya memanggil Din lagi.
“Ada apa sih?” Din mulai merasa kesal karena dipanggil terus menerus. Menghambat kepergiannya untuk pergi bekerja.
Untuknya uang lebih berharga dari apapun sekarang.
“Ayo kuantar.”
“He?”
“Aku tahu tempatmu bekerja dan aku melewati tempat itu. Jadi tidak ada salahnya untuk pergi bersama kan?” Yuya menjawab tanpa ditanya.
“Tapi…..” Din bingung sendiri jika melihat dosennya menjadi baik seperti ini.
“Kau juga bisa menghemat uang naik bis kan?”
Seolah mendapat pencerahan, Din langsung mengangguk. Itu bisa menjadi bagian dari penghematan.
“Oke. Kalau sensei memaksa,” Din menyengir lalu jalan terlebih dahulu menuju tempat mobil Yuya parkir.
Yuya hanya tersenyum melihat tingkah mahasiswinya itu. Tidak ada yang paling membahagiakan untuknya dapat membantu kesulitan gadis itu.
“Matsumoto-sensei…”
Din berlari kecil ke arah seorang pria yang tengah berdiri sambil bersender di mobilnya.
“Hai Din..Yuya-sensei..” Jun menyapa Din dan Yuya.
“Sensei, untuk makanannya, arigatou…” ucap Din.
“Hmm?”
“Makanan yang sensei letakkan di meja perpustakaan. Kenapa tidak menyapaku tadi?”
Jun tersenyum. “Tadi kau serius sekali mengerjakan tugasnya. Jadi aku tidak berani menganggu.”
“Oh begitu…Ya sudah tidak apa-apa. Kalau begitu aku pergi dulu.”
Din melambaikan tangan pada Jun yang kemudian dibalas oleh pria itu.
“Jadi ada yang ditraktir oleh laki-laki yang disukai,” Yuya menebak saat mereka di perjalanan menuju tempat kerja Din.
“Itu….” Pipi Din terasa panas saat Yuya menebak hal yang benar. “Aku hanya senang Matsumoto-sensei memberi perhatian padaku.”
“Pantas saja kau senyum-senyum tadi.”
Din tidak memperdulikan ucapan Yuya. Ia terlalu sibuk dengan perasaan senangnya. Sedangkan Yuya lalu diam dan membiarkan Din dengan khayalannya yang mulai bermuculan di pikiran gadis itu.
——————–
“Ne..”
“Hmm?” Riisa mengangkat kepalanya saat Mika, gadis dihadapannya memanggil.
“Ayo ajak Yuma ke acara kita nanti.”
Ucapan temannya itu nyaris membuat Riisa tersedak.
“Hah? Yuma? Nakayama Yuma maksudmu?” Riisa memperjelas ucapan Mika.
“Tentu saja dia. Siapa lagi?”
Riisa memiringkan kepalanya. Temannya ini memang tahu jika dirinya bekerja di toko milik Yuma. “Kenapa dia harus ikut dengan kita?”
Nanti malam teman-teman Riisa berencana untuk mengadakan acara bersama dengan mahasiswa dari jurusan sastra. Kebetulan salah satu teman Riisa mengenal laki-laki dari jurusan tersebut.
“Karena akan seru jika Yuma ikut,” jawab Mika berasalan.
“Sepertinya kau mengenal Yuma…”
Mika menggebrak meja pelan. “Kau tidak tahu saat masa SMA dia terkenal sebagai pemain teater?”
Riisa menggeleng. Bagaimana ia tahu? Ia kan tidak bersekolah di Tokyo.
“Dulu aku mengikuti klub teater di sekolah. Makanya aku tahu. Saat itu tidak ada yang tidak mengenal Nakayama Yuma,” Mika bercerita.
“Saat itu? Memangnya sekarang tidak?”
Mika menggeleng. “Aku tahu bakatnya sangat luar biasa. Tapi tiba-tiba dia tidak melanjutkan aktingnya. Malah aku pikir dia akan masuk ke panggung yang lebih besar. Tidak mungkin jika dia tidak ditawari oleh orang-orang agar bergabung di teater mereka.”
Riisa mengangguk. Ini pertama kalinya ia mendengar hal ini. Ternyata ia memang tidak mengenal Yuma dengan baik.
“Kau tahu alasannya?”
“Tidak. Tidak ada orang yang tahu alasannya.”
Riisa semakin penasaran. Sebenarnya ada apa dengan Yuma?
“Jadi….kau mau mengajaknya?” Mika masih tidak menyerah.
“Aku tidak mau,” tolak Riisa. “Aku tidak mengenalnya dengan baik.” Apalagi setiap bertemu, kami pasti bertengkar, lanjut Riisa dalam hati.
Mika jelas kecewa. Tapi ia juga tidak bisa memaksa Riisa. “Baiklah. Mungkin lain kali aku akan mengajaknya langsung.”
Riisa menunduk kembali untuk fokus pada tugasnya. Tapi Mika tahu, sebenarnya ia masih memikirkan tentang Yuma.
——————
“Membosankan,” desah Saifu di atas atap.
Kehidupannya terasa monoton. Tidak ada yang menarik. Pergi sekolah, belajar, saat istirahat sendirian, pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak ada yang menarik.
Dan seperti biasa, saat bel pulang berbunyi, tanpa melakukan apapun lagi, Saifu segera membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang.
“Aku ingin cepat-cepat lulus dan segera menyusul Mama ke Amerika,” gumam Saifu sambil menendang kaleng yang ada di hadapannya.
“Aww…”
Saifu mendengar ada suara kesakitan tak jauh dari posisinya berdiri.
“Siapa itu?”
Saifu mengedarkan pandangannya mencari orang yang mengeluh tadi.
“Daiki?” Saifu tidak menyangka, kaleng yang tadi ia tendang mendarat tepat di lutut Daiki.
“Itu sakit, Fu-chan…” keluh Daiki yang merasakan linu di lututnya.
“Gomen..” ucap Saifu pelan. Tapi setelah itu, dengan wajah tanpa penyesalan, dia pergi meninggalkan Daiki sendiri.
“Chotto….” Daiki menarik tangan Saifu. “Begitukah caramu meminta maaf?”
Saifu mengerutkan kening. “Tadi kan aku sudah meminta maaf.”
“Kau pikir aku sudah memaafkanmu?”
“Hah?” seru Saifu tidak mengerti. “aku tidak peduli kau memaafkanku atau tidak.”
Daiki mulai menunjukkan wajah ingin menangis. “Fu-chan jahat. Kau tidak merasakan kakiku yang sedang kesakitan.”
“Kau berlebihan. Aku tidak menendangnya dengan keras,” Saifu membela diri karena ia tidak suka disalahkan seperti itu.
“Tapi kenyataannya kakiku sakit,” Daiki tidak mau kalah.
Melihat wajah menyebalkan Daiki yang merengek-rengek, Saifu kehilangan akal. Sekarang ia sedang tidak ingin berbelit-belit.
“Jadi maumu apa?” ucap Saifu akhirnya.
“Pertama-tama, bantu aku berdiri.”
Saifu baru menyadari Daiki masih terduduk di tanah. Dengan segera ia menarik tangan Daiki hingga pemuda itu berdiri.
“Lalu sekarang apa?” tanya Saifu.
Tanda diduga oleh gadis itu, Daiki menarik tangannya dan membawanya pergi entah kemana.
——————-
“Kau ikut, Riisa?” tanya Mika pada Riisa begitu kuliah terakhir selesai.
“Kemana?”
Mika menatap Riisa datar lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Riisa. “Kau tidak lupa kan hari ini kita ada kencan bersama dengan mahasiswa dari jurusan sastra?”
“Ah….” Riisa memutar-mutar bola matanya. Ia tidak ingin menatap mata Mika karena ia akan tahu jika dirinya lupa.
Padahal baru tadi siang mereka membicarakannya.
“Ayo…” Mika sudah menarik tangan Riisa.
“Mika…gomennasai,” Riisa menarik lagi tangannya. “Aku tidak bisa ikut. Aku ada kerja sambilan sore ini.”
Mika diam sebentar. “Memangnya kau tidak libur?”
“Liburku hanya hari Kamis. Gomen ne..” Riisa memohon pada Mika. Ia juga tidak bisa membuat gadis itu kecewa.
“Tapi kalau kau tidak ikut, kita kekurangan orang,” Mika masih bersikeras.
Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba ada yang memanggil.
“Mika…ada yang mencarimu..” salah satu teman mereka berteriak pada Mika.
Mika yang diikuti Riisa yang akan pulang, berjalan menuju pintu kelas.
“Ryosuke?”
Orang yang ingin menemui Mika ternyata Yamada Ryosuke. Di angkatan mereka, tidak ada yang tidak mengenal pemuda itu. Termasuk Riisa.
“Ada apa?” tanya Mika.
“Sepertinya kita kekurangan 1 orang. Yuma tidak berhasil kuajak,” ucap Yamada. “Bagaimana ini?”
“Itu bagus..” timpal Riisa lalu tersenyum pada Mika. “Dengan ini tidak ada masalah untuk aku tidak ikut.”
Mika lalu menarik Riisa untuk menjauhi Yamada dan berbisik. “Ini bukan akal-akalmu agar bisa berduaan dengan Yuma kan?”
Riisa sontak kaget. Itu adalah pertanyaan yang paling konyol yang pernah ia dengar. “Jika boleh memilih, aku ingin dia pergi selama aku bekerja agar aku tenang.”
Mika melihat Riisa bersungguh-sungguh mengucapkannya.
“Baiklah…” Mika melepaskan Riisa. “Kau bisa lolos hari ini. Tapi tidak lain hari.”
“Kau pikir aku buronan,” sungut Riisa.
Ada sedikit penyesalan saat ia menolak untuk tidak ikut dengan Mika dan teman-temannya. Tapi itu bukan saat yang pas sekarang. Riisa masih mempunyai hal yang diprioritaskan. Kalau hari ini ia tidak bekerja, itu artinya gajinya akan dipotong dan itu berarti adalah masalah.
“Haaaa~” Riisa sedikit mendesah sambil menerawang ke depan.
“Doushita no, Rii-chan?” tanya Nakayama-san melihat Riisa tidak bersemangat hari ini.
Riisa lalu menoleh dengan cepat. “Nani mo nai. Daijoubu. Hanya memikirkan tugas-tugas kuliahku.” Lalu ia tersenyum.
“Baiklah. Kalau ada apa-apa, kau bisa menceritakannya padaku,” lanjut Nakayama-san.
Riisa mengangguk lalu kembali meneruskan kegiatannya yaitu mengelap meja.
Sudah beberapa minggu Riisa bekerja di toko itu dan ia merasa betah. Nakayama-san adalah orang yang baik. Riisa selalu merasa bahwa ibunya ada di dekatnya setiap wanita itu memberikannya perhatian. Itu yang membuat Riisa merasa nyaman dan tidak ingin mengecewakan.
“Rii-chan, tolong buang sampah yang itu sebentar,” kata Nakayama-san.
“Haaaiiii~.”
Kebetulan malam ini tidak terlalu ramai sehingga pekerjaan Riisa tidak begitu banyak.
Saat akan mengambil sampah yang akan dibuang, Riisa sedikit memperhatikan Yuma yang sedang membuat beberapa roti dan kue. Terlihat serius dan sangat tenang. Berbeda sekali jika mereka sudah bertemu dan bertengkar. Riisa lebih menyukai wajah Yuma yang seperti ini.
“Sedang apa, Rii-chan? Ayo cepat. Nanti ada pembeli yang datang,” kata Nakayama-san mengingat.
“Ah…ha-haii,” Riisa lalu segera menuju pintu belakang.
Banyak yang tidak Riisa ketahui tentang Yuma. Kenapa dia berhenti bermain teater, tapi memilih berkutat dengan tepung dan berbagai bahan di dapur? Memikirkan hal itu membuatnya gatal karena ia merasa penasaran.
“Riisa..”
Riisa menoleh pada orang yang memanggilnya, dan ternyata itu Yuma.
“Ya?”
“Itu…” Yuma terlihat gugup dan bingung. Seperti bukan Yuma saja. “Aku ingin berterima kasih.”
“Untuk apa?”
“Tempo hari. Di taman bermain.”
Riisa mengingatnya. “Oh…gadis itu…”
“Gomen ne. Sudah merepotkanmu dengan mengatakan kalau kau pacarku,” ucap Yuma.
“Tidak apa-apa. Lalu kau sudah menyelesaikannya?”
Yuma mengangguk.
“Souka…”
Tiba-tiba Yuma diam. Riisa tidak berani bertanya untuk menyembuhkan penasarannya. Menurutnya itu tidak sopan walaupun pada orang yang selalu bertengkar dengannya.
“Haruna…dulu aku berpacaran dengannya.” Yuma memulai bercerita. “Tapi aku tidak mencintainya. Aku hanya dimintai tolong oleh ayahnya yang kebetulan adalah sahabat ayahku, agar aku lebih memperhatikannya.”
Riisa tidak bereaksi apapun. Ia hanya mendengarkan cerita Yuma.
“Dia sedang menjalani pengobatan. Depresi karena kekasihnya meninggal 2 tahun yang lalu. Tapi kesehatannya lalu membaik saat ia terus bersamaku. Dokter yang menanganinya bilang kalau dia harus selalu ditemani dan ada yang memperhatikannya. Tapi……semakin lama aku merasa sudah melakukan hal yang percuma. Karena itu hanya akan memberikannya kebohongan dan dia akan terus bergantung padaku. Tidak akan baik untuk Haruna sendiri.”
“Lalu? Apa yang terjadi?” Riisa mulai terhanyut dengan cerita Yuma.
“Empat bulan yang lalu aku memutuskan untuk menjauhinya dengan persetujuan ayahnya. Tapi Haruna tetap tidak menerimanya dan dia terus mencariku walaupun aku sudah memberikannya berbagai alasan,” jelas Yuma.
“Tapi sepertinya alasan aku berpacaran denganmu, membuat Haruna sadar,” lanjut Yuma lalu tersenyum tanpa menatap Riisa.
Riisa mengalihkan pandangan karena ia merasa senyuman itu sangat berbahaya untuk jantungnya.
“Aku kembali ke dapur dulu,” Yuma beranjak dari duduknya. “Arigatou..sudah mendengar ceritaku. Aku berhutang padamu.”
Riisa tidak menanggapi dan hanya melihat punggung pemuda itu yang berjalan menuju dapur untuk meneruskan pekerjaannya. Ia menyadari, Yuma tidak seburuk yang ia bayangkan.
————————–
Jika tugas sudah menumpuk, tempat yang akan Opi tuju dipastikan adalah bar milik ayahnya. Di sana memang tempat yang salah untuk mengerjakan tugas, tapi sangat pas untuknya karena ia memiliki tempat khusus agar dirinya tidak diganggu siapapun.
“Irrashaimasen….are? Opi?”
Gin, yang merupakan bartender di bar itu sedikit kaget melihat anak bosnya datang.
“Aku mau minuman yang biasa,” kata Opi sambil terus berjalan tanpa menoleh pada laki-laki itu.
“Haaaaiii~.”
Gin memandang Opi dengan heran. Gadis itu sudah beberapa hari ini tidak muncul di bar. Laki-laki itu melihat Opi datang hanya untuk mengerjakan tugasnya. Bar adalah tempat yang tidak berisik sehingga nyaman untuk mengerjakan tugas, itu yang dikatakan oleh Opi padanya saat ia bertanya. Tapi menurutnya, gadis itu ke tempat itu hanya saat perasaannya sedang tidak enak, atau ia mengalami masalah yang menyulitkannya.
“Hari ini ada kejadian apa?” tanya Gin sambil meletakkan segelas minuman di meja.
“Hmm? Nani mo nai,” jawab Opi tapi matanya tetap fokus di depan notebook-nya.
Gin menghela nafas. “Aku sudah mengenalmu sejak kecil, Opi. Jadi aku tahu kebiasaanmu.”
Opi seketika berhenti mengetik. Pandangannya menerawang sambil memikirkan sesuatu.
“Aku bermimpi ‘itu’ lagi,” ucap Opi pelan. “Akhir-akhir ini, aku sering bermimpi ‘itu’.”
“Mungkin kau terlalu capek. Sehingga bermimpi buruk,” timpal Gin.
“Itu bukan mimpi, Gin-san…” wajah sendu lalu muncul di wajah Opi, seolah mengingat sesuatu di masa lalu. “Itu
kenyataan yang buruk, tepatnya.”
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Gin. Terlalu rumit.
“Gomen, sudah mengganggu belajarmu. Aku kembali bekerja,” Gin berbalik tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya tanpa berbalik. “ah…aku lupa memberitahumu. Kemarin, kakakmu datang kemari.”
“Onii-chan? Ada urusan apa?”
“Hanya minum dan mengobrol denganku,” jawab Gin lalu ia pergi untuk kembali bekerja.
Opi memejamkan matanya. Tanpa ia sadari , ia mengepalkan tangannya. Hanya mengetahui keberadaan kakaknya saja, hatinya sudah merasa kesal. Apalagi mengingat apa yang terjadi 5 tahun yang lalu.
“Lagi-lagi mengerjakan tugas di tempat seperti ini.”
Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunan. Saat menoleh, ia mendapati sosok Sho Sakurai di hadapannya.
“Sho-san…”
“Boleh duduk di sini?” Sho bertanya.
Opi mengangguk. “Douzo..” jawabnya. “Sendirian?”
Kini Sho yang bergantian mengangguk. “Aoi sibuk bekerja. Pekerjaannya sebagai aktris terkenal memang seperti ini.”
Opi melihat Sho tersenyum. Tapi ia tahu, senyum itu senyum kesepian.
“Sho-san, sering datang ke sini?”
“Hmm…lumayan. Minggu ini aku sudah 6 kali datang ke sini setiap malam,” jawab Sho.
Opi tertawa pelan. “Itu artinya memang sering kan?”
“Are?” Sho mendekatkan wajahnya. “Tertawamu manis juga. Aku tidak pernah melihat sebelumnya.”
Opi segera memalingkan wajahnya. Ia tidak pernah menunjukkannya pada siapapun kecuali Jun.
“Tapi sepertinya aku pernah melihatnya. Saat kau mengobrol dengan Jun.”
Opi kembali menghadap wajahnya ke depan. “Memang hanya dengan Jun, aku bisa menunjukkannya.”
“Berarti aku yang kedua? Ii ne…” Sho tersenyum senang.
Opi berkerut. Kenapa harus sesenang itu?
“Aku dengar kau dan Jun itu saudara sepupu,” kata Sho.
“Hai..”
“Tapi hubungan kalian sangat dekat sekali. Membuatku iri,” ucap Sho.
“He?”
Sho tiba-tiba tertawa. “Aku dekat dengan adik-adikku. Tapi tidak sedekat kalian. Apalagi kalian hanya saudara sepupu.”
“Karena…..” Opi diam sejenak. “Hanya Jun yang bisa aku percaya sekarang.”
Sho mengetahui sesuatu sekarang. Hubungan Opi dan Jun ternyata lebih istimewa dari sekedar saudara. Dan hubungan itu terasa sulit untuk dimengerti oleh orang-orang. Termasuk dirinya.
————–
“Jadi kau menipuku?”
Saifu terduduk tanpa ekspresi saat ia dan Daiki sedang menikmati es krim mereka.
“Siapa yang menipumu? Kau sendiri yang bertanya, apa yang harus kau lakukan. Ya…inilah yang harus kita lakukan,” jawab Daiki riang. Ia tidak peduli bagaimana kesalnya Saifu saat ini.
“Aku pulang saja.”
Saifu baru saja akan melangkah untuk pulang, sampai Daiki mencegahnya.
“Kau tidak boleh pulang. Sampai aku mengijinkanmu pulang.”
Saifu berkerut. “Aku tidak perlu izinmu. Pokoknya aku ingin pulang.”
“Setidaknya habiskan dulu es krimmu,” lanjut Daiki lalu tersenyum pada Saifu.
Saifu tertegun saat melihat senyum Daiki yang manis. Gadis itu lalu duduk kembali dan mencoba menghabiskan es krimnya.
“Oishii ne~”
Saifu diam. Tidak ada kata untuk menanggapi ucapan Daiki.
“Kalau dulu, saat kita makan es krim seperti ini, pasti membutuhkan banyak waktu karena kau yang selalu bercerita panjang,” kenang Daiki. “Tentang sekolah, tenang klub, tenang Ryu…”
Saifu memotong begitu mendengar nama Ryutaro. “Jangan membawa masa lalu.”
“Kita bisa menghabiskan waktu hingga sore hari hanya untuk makan es krim. Sampai-sampai kita tertawa-tawa dan lupa waktu. Saat itu sangat menyenangkan,” lanjut Daiki.
“Sudah kubilang jangan membawa masa lalu. Aku sudah melupakannya,” tegur Saifu.
“Hontou ni? Apa benar-benar sudah melupakan semuanya?”
Saifu terdiam. Ia tidak benar-benar melupakannya. Jika ia sudah melupakannya, ia tdak akan merasakan sakit di hatinya hingga sekarang.
“Kenapa kau tidak menjauhiku seperti yang lain? Bukankah gara-gara aku juga kau putus dengan Emi?” tanya Saifu.
“Seharusnya kau membenciku juga.”
Daiki sedikit kaget sampai ia berhenti memakan es krimnya sejenak.
“Aku tidak bisa membencimu,” ucap Daiki. “Aku tidak bisa membencimu dengan alasan apapun.”
“He?”
“Aku tidak pernah menganggap kejadian itu adalah salahmu. Daripada menyalahkanmu, aku jadi menyadari sesuatu…”
Saifu menoleh pada Daiki dengan wajah bingung.
“Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan.”
“Nani?”
Daiki menatap Saifu sambil tersenyum. “Mengembalikan senyummu yang sudah hilang.”
“Hah?”
“Tidak peduli kau menolakku. Tidak peduli kau membenciku. Aku hanya ingin melihat senyummu yang dulu,” lanjut Daiki.
“Aku merindukanmu yang dulu.”
Saifu membuang mukanya agar ia tidak melihat wajah Daiki. Karena saat ini, entah kenapa, hanya dengan melihat wajah itu, dadanya berdebar kencang dan membuat perasaannya sangat tidak nyaman.
—————
“Tadaima…”
Opi tidak mendengar jawaban saat ia baru saja pulang. Ia heran, kenapa rumah sebesar ini tapi tidak ada penghuninya.
Sebelum ke kamarnya, Opi berjalan ke dapur sebentar untuk menyimpan beberapa bahan makanan yang habis. Sekilas ia melihat ada sosok perempuan di kursi goyang tempat biasa ia bermalas-malasan.
“Dare?” gumam Opi.
Saat di dekati, ternyata itu adalah Din yang tertidur dengan gelas wine masih ia pegang di tangan kanannya.
“Din…bangun,” Opi mengguncangkan tubuh Din pelan. “Kau bisa masuk angin kalau tidur di sini.”
Perlahan Din membuka matanya. “Ah..Opi-chan..sudah pulang? Okaeri…”
Opi menyipitkan matanya. “Kau mabuk?”
Din mengibaskan tangannya. “Tidak. Siapa yang mabuk? Aku kembali ke kamar saja. Jya~.”
Baru beberapa langkah, Din sudah kehilangan keseimbangannya. Beruntung Opi langsung menangkap tubuh Din walaupun dengan bersusah payah.
“Sudah kubilang kau mabuk,” gerutu Opi.
Mau tidak mau, Opi membawa Din ke kamarnya. Sangat kesulitan karena kamar Din ada di lantai 2.
“Huwa….” Opi melempar tubuh Din ke atas tempat tidurnya. “Berat sekali..” keluhnya.
“Matsumoto-sensei….”
Opi menoleh ke arah Din saat gadis itu menyebutkan nama sepupunya.
“daisuki…”
Lalu Opi kening berkerut. Jadi selama ini…..
“Pantas saja…”
Opi menyadari saat tempo hari Din menanyakan tentang Jun. Jadi ini maksudnya. Ternyata Din menyukai sepupunya.
========
Tsuzuku…^^
lebih panjang dari biasanya ahahaha…dan aneh seperti biasa…
tapi tetep komen yah kawan…
^^