[Oneshot] Broken Vow

Title       : Broken Vow
Type      : Oneshot
Author    : Dinchan Tegoshi
Genre     : Romance
Ratting    : PG-13
Fandom   : JE
Starring    : Fujigaya Taisuke (Kis-My-Ft2), Nikaido Takahashi (Kis-My-Ft2), Hideyoshi Sora (OC), Sakurai Meru (OC), dan orang lewat2.. 😛
Disclaimer    : I don’t own all character here. Fujigaya Taisuke and Nikaido Takahashi are belongs to JE, Sora are my own OC, Meru saia pinjem dari orang… 🙂
COMMENTS are LOVE… it’s just a fiction.. please read it happily~ I love comment… please leave some comment~ ^^

BROKEN VOW

Sora’s POV

Kulihat lagi bayanganku di cermin. Cantik. Bukan aku merasa sombong, tapi sejak tadi, kata itulah yang terlontar dari beberapa orang yang mendatangi aku.

Tidak.

Aku tidak merasa cantik hari ini.

Gaun putih menjuntai yang terpasang dengan solid di badanku, sebuah hiasan manis di kepalaku, make-up sederhana untuk seorang pengantin.

Tapi aku merasa sangat buruk. Lebih dari apapun di dunia ini yang bisa aku sebutkan. Sbeut saja aku berlebihan, aku tak peduli. Aku merasa sangat buruk rupa, beberapa jam lagi aku akan keluar menuju altar, menemui pasangan hidupku untuk selamanya.

Yeah.

Jika kita bisa jadi selamanya. Tanpa aku bertanya pada si penyandang status pendamping hidupku itu, aku tahu kita tak saling mencintai. Mungkin kata cinta adalah kata terakhir yang kita pikirkan jika mendeskripsikan satu sama lain.

Sebelum kita bertemu, pria itu sudah punya pacar.

Pacar.

Sosok Nika tiba-tiba lalu lalang dalam benakku, membuat rasanya air mata ini ingin lagi aku teteskan. Ia kini sepertinya membenciku. Membenci pilihanku tepatnya. Mengapa aku harus meninggalkannya dan menikah dengan orang yang tidak aku cintai? Nikaido Takahashi tak pernah kurang apapun bagiku.

Ia tampan, punya masa depan cerah sebagai seorang instruktur tari, ia baik dan perhatian. Apa yang kurang?

Kurang banyak bagi ayahku.

Singkatnya Nikaido bukanlah anak dari partner perusahaannya. Semuanya menjelaskan apa yang kurasakan sekarang.

Tipikal sekali.

Menikah karena bisnis. Tipikal kan? Bilang saja ayahku menjual diriku? Tapi ia tak punya pilihan jika ia ingin menyelamatkan semua karyawannya dari pemecatan. Perusahaan yang sudah ia bangun sejak ia masih muda terancam gulung tikar di masa sulit seperti ini.

Aku tak pernah punya orang lain di keluarga selain ayahku. Ibuku meninggalkan kami ketika aku masih sangat kecil. Bahkan aku tak ingat wajahnya. Jadi, pengorbanan seperti inilah yang bisa kuberikan pada beliau.

Orang yang membesarkan aku.

“Sora…”

Aku menoleh dan mendapati Ayahku yang berdiri di ambang pintu.

“Ya ayah?”

Senyum Sora!! Senyum!! Umpatku pada diri sendiri. Akhirnya aku mengulaskan sebuah senyum ke arahnya. Mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja dan sangat bahagia.

“Aku tak menyangka gadisku sudah dewasa begini…” ucapnya sambil membelai pelan rambutku, “Kau akan melewati altar itu dan segera jadi istri…”

Aku mengangguk, “Iya Ayah…”

“Kau bahagia kan, nak?”

Tidak.

Jika saja aku bisa mengatakannya tanpa pikir panjang dan tak memikirkan bahwa Ayah punya penyakit jantung, aku sudah mengatakannya sejak dulu. Aku tak akan bahagia dengan pria itu.

“Iya…” kebohongan besar Sora! Umpatku lagi, jika bisa ku memaki diriku yang pembohong ini, sudah kulakukan sampai aku menangis.

“Ayah tak mau kau menyesal nantinya… ini sudah Ayah tanyakan padamu sebelumnya kan? Jadi…kuharap kau bahagia selamanya dengan Taisuke..”

Ugh! Please jangan sebut nama itu.

Baiklah.

Fujigaya Taisuke. Calon pendamping hidupku yang baru. Anak pengusaha besar, punya perusahaan besar di seantero negeri ini.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari dirinya. Jelas sekali ia tampan, kaya, cukup baik untuk ukuran seorang pria kaya. Hanya satu kekurangannya.

Ia tak mencintaiku.

Aku juga tidak mencintainya.

Maka, segala kriteria di atas jadi tak berarti lagi. Jika dilihat secara kasat mata, aku memang tak akan menolak bersamanya. Tapi bukan itu masalahnya.

“Aku senang jika kau juga senang putriku…”

Maafkan aku Ayah.

Tapi aku lebih senang jika Ayah yang senang. Tak ada yang bisa membayar jasa Ayah membesarkanku seorang diri selama ini. Dan aku akan merasa sangat bersalah jika aku tidak mengikuti kemauan ayah.

Dengan cepat aku memeluk pria paruh baya itu, “Aku akan bahagia ayah…”

============

Taisuke’s POV

Aku tahu minum sampanye tidak akan merubah apapun saat ini. Aku setuju menikahi gadis bernama Sora itu setelah gadis itu meminta dengan sangat kepadaku.

Well, yeah..

Dia cantik. Anak pengusaha juga. Pengusaha yang hampir bangkrut tepatnya. Tapi aku punya semacam hutang budi pada pria paruh baya itu. Ketika kecil, aku hampir meninggal karena kecelakaan, dan darahnya lah yang menyelamatkan aku. Karena saat itu kedua orang tuaku sedang diluar negeri karena pekerjaan mereka.

Itulah kenapa akhirnya aku setuju meikah dengan gadis itu.

Kutatap layar ponselku yang menunjukkan fotoku bersama gadisku. Ya. Gadisku yang kini terluka karena aku memilih orang lain untuk berdiri bersamaku di altar nanti. Bukan dirinya seperti yang pernah aku janjikan.

Maafkan aku.

Ini untuk membalas budiku kepada Hideyoshi-san yang memberikan darahnya kepadaku saat aku hampir mati.

“Kenapa kau memilihnya? Kau bisa saja memilih untuk membayar hutang budimu dengan cara lain!!” masih jelas teriakannya saat aku memberi tahu alasannya.

Sebelum aku memikirkan caranya, perusahaan itu sudah jelas akan bangkrut. Karena Ayah tidak mau memberikan pinjamannya kecuali aku menikah dengan Sora. Cita-cita lelaki tua bangka itu sejak aku masih kecil. Menikah dengan Hideyoshi Sora, anak sahabatnya.

Dan karena keegoisannya, kini aku yang memakai jas putih dan bersiap untuk keluar menuju altar.

Sebuah ketukan membuyarkan lamunanku. Kutaruh gelas sampanyeku, lalu bergegas membuka pintu yang sejak tadi aku kunci.

Gaun hitam.

Mata yang memerah karena terlalu sering menangis.

Gadisku berdiri tepat di depan pintu.

“Taipi!!” ia menghambur kepelukanku.

“Kau…. datang?” bibirku kelu. Bagaimana bisa aku mengucapkan janji sehidup-semati dengan orang lain sementara gadisku datang untuk melihatku.

Ini tak adil.

Siapa yang menyuruhnya datang kesini?

“Aku…aku…”

Gadis yang tak biasanya cengeng ini kini menangis sesenggukan dipelukanku.

“Meru-chan… sudah kubilang…kau…tak usah datang,” nada suaraku dibuat-buat sehingga diriku sendiri jijik mendengarnya.

“Siapa tahu…kalau aku datang…kau…”

Mengurungkan niatku. Pasti itu maksudnya.

“Tidak mungkin… aku sudah berjanji pada Sora…” ucapku.

“Tapi kau juga berjanji padaku!!!” suara Meru terdengar sangat marah.

“Gomen na…”

Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan. Percuma aku menjelaskan segalanya lagi. Tidak akan mengubah semuanya. Bayangkan jika aku lari sekarang bersama Meru. Mungkin kebahagiaan buatku, tapi Ayahku harus menanggung malu dan karena itu perusahaan milik Hideyoshi-san juga tidak akan terbantu.

“Masuk dulu…” kataku sambil menarik Meru ke dalam kamar ganti itu.

Kubiarkan dirinya merebahkan kepalanya di bahuku. Menangis dambil masih memelukku.

Jika kuingat lagi pertemuanku dengan Meru, rasanya seperti sebuah keajaiban. Hari itu aku kehujanan dan mampir di sebuah toko roti yang tak jauh dari tempat itu. Toko itu milik keluarga Meru, dan gadis itu sedang belajar juga menjadi koki pastry di tokonya.

Lalu, aku jatuh cinta pada kue yang ia buat. Rasanya sangat pas. Aku menanyakan siapa yang membuatnya? Dan saat aku melihat Meru, aku tahu aku bisa jatuh cinta juga pada si pembuat kue itu.

Sejak saat itu aku sering sekali mampir ke toko kue milik Meru. Hingga aku memberanikan diriku untuk menjadikannya pacarku.

Setelah dua tahun kami pacaran, kurasa sudah waktunya aku menikahinya. Tak ada lagi yang perlu ditunggu. Bagiku dan Meru hingga bertahun-tahun selanjutnya, kami akan bersama. Maka tak ada alasan untuk menunda pernikahan. Tapi, lalu hal ini terjadi. Semua yang kami rencanakan berantakan. Bahkan aku harus putus dengannya.

“Meru-chan…” siang itu kami duduk berhadapan di Toko Kue milik Meru.

“Hmm? Eh… Cheese cake buatanku enak tidak?” ia tersenyum seperti biasanya.

“Seperti biasa…aku selalu suka kue buatanmu…” ucapku sambil tersenyum.

“Hehehe..”

“Ada yang harus kubicarakan…”

“Ada apa?” matanya membulat melihatku. Jenis pandangan yang membuatku salah tingkah dalam keadaan seperti ini.

“Aku…tak bisa lagi bersamamu…ada hal yang membuatku harus menikah dengan orang lain…”

PRANG!

Gelas teh itu jatuh berkeping-keping. Air mata Meru mulai mengalir dan membuatku tak tahan lagi. Aku juga menangis dan menjelaskan semuanya pada Meru.

Itulah akhirnya aku harus meninggalkan Meru demi janjiku pada Sora.

“Taipi…apa sekarang juga kau masih mencintaiku?” Meru bertanya dengan suara parau.

Aku mengangguk, “Un… aku pernah bilang aku akan selalu mencintaimu. Dan aku tak bohong soal itu…”

“Kalau begitu… bercerailah dengan Hideyoshi-san setelah mereka dapat pinjaman…” sebuah permintaan yang sangat egois. Namun aku bisa mengerti perasaannya.

Aku menggeleng, “Yang Ayahku inginkan adalah aku menikah dan benar-benar punya keluarga dengannya…”

Meru kembali menangis, “Kalau begitu kau tak mencintaiku!!! KAU BOHONG!!!” Meru memukuli badanku tanpa ampun hingga aku menariknya dalam pelukanku.

“Gomen…gomen…”

================

Sora’s POV

Saat Ayah keluar dari ruangan, udara rasanya bertambah berat. Aku nyaris sulit bernafas karena terus menahan tangisku.

Kau tak boleh menangis Sora. Kurang dari setengah jam lagi aku harus tampil sempurna sebagai seorang pengantin.

“Maaf aku mengganggumu?”

Seraut wajah yang bayangannya memantul di cermin di hadapanku membuat aku terlonjak kaget.

“Nika…” ucapku lirih.

“Sudah pernah kubilang kau akan jadi pengantin yang cantik sekali…” katanya lalu mendekati aku dan menyentuh bahuku dengan telapak tangannya yang terasa sangat dingin.

Karena aku memakai gaun dengan bahu terbuka, rasa dingin itu langsung mampir di kulitku.

Aku diam. Takut jika aku mengatakan sesuatu, aku akan benar-benar menangis.

“Mau berdansa denganku?” Nika mengulurkan tangannya di hadapanku.

Aku jadi ingat. Itu adalah kata-kata pertamanya saat mengajakku berdansa di malam pesta ulang tahun salah seorang teman kami.

Nika pernah bilang, ia sudah memperhatikanku sejak lama. Baru hari itu ia berani mengajakku mengobrol. Kami sering bertemu di sekolah tari yang sama ketika itu.

Sama seperti waktu itu, aku menyambut tangannya. Berdiri dan menyelipkan tanganku di tangannya, sementara tangan kiriku berada di lehernya.

“Tidak ada musik disini…” bisikku lirih.

“Sebentar…” Nika mengeluarkan iPodnya, dan menyematkan salah satu airphone nya di telinga kananku, sementara ia memakai yang sebelah kiri, “Ini ada lagu…” ucapnya.

Sebuah lagu terdengar, dan aku tak mampu lagi menahan tangisku.

Ini lagu pertama kami berdansa bersama malam itu.

Nika mengusap air mataku, “Pengantin tak boleh menangis…hari ini hari yang bahagia untukmu kan?”

Aku menggeleng, “Baka!” umpatku.

Nika menarikku ke dalam pelukannya, kami bergerak mengikuti irama lagu, namun kini dalam keadaan berpelukan.

“Maaf kemarin-kemarin aku marah padamu. Aku mengerti situasimu, dan aku tak bisa membencimu karena alasan itu,” bisiknya.

Aku tak menjawab.

“Hari ini aku spesial datang kesini untuk mengucapkan selamat padamu…”

“Kenapa?” tanyaku cepat.

Nika melonggarkan pelukannya, menatap wajahku dan menyentuhnya dengan kedua tangannya, “Karena aku tahu. Kau wanita yang kuat. Aku tahu, kau mungkin akan bisa mencintai suamimu itu… mengerti?”

Tidak. Nika adalah orang pertama yang bisa membuatku mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Sejak dulu, walaupun aku punya pacar, semuanya hanya main-main saja. Tapi berbeda dengan Nika, aku bahkan bisa bertahan dengannya selama tiga tahun terakhir ini.

“Aku tak mungkin begitu…kau paling tahu itu mustahil…” air mataku semakin deras dan aku tak peduli make-up ku kini luntur sekalipun.

“Ini pilihanmu kan? Sora?” nada tegas yang jarang kudengar darinya.

Aku menatapnya dengan pandangan kabur karena air mataku terus mengalir.

“Bertanggung jawablah atas pilihanmu…”

Nika melepaskan pelukannya, berbalik memunggungiku.

“Nika!” aku berteriak hendak mengejarnya.

“Jangan lihat aku…” kudengar sebuah isakan dari Nikaido.

“Nika…” ucapku lirih.

Pria itu keluar. Menyisakan isakan yang lebih kuat dari mulutku. Aku terduduk seakan tak berdaya menghadapi semua ini.

Maafkan aku…maafkan aku…

Aku memang harus bertanggung jawab atas pilihanku.

Tapi aku kini malah tak yakin akan pilihanku sendiri.

Pintu terbuka lagi, kini malah Opi yang datang menghampiriku.

“Sora! Kau kenapa?!”

Ia membantuku berdiri dan mengusap air mataku, “Make-up mu luntur semua tuh…” ucapnya kesal lalu memanggil penata rias.

“Aku lihat tadi Nikaido menangis di depan pintu. Apa ia mencoba membuatmu membatalkan pernikahan ini?” tanya Opi.

Aku menggeleng, “Tidak…ia memintaku berbahagia dengan Taisuke..”

Opi terlihat kaget, “Maa.. aku sebenarnya ingin memintamu mengurungkan niatmu ini…tapi…”

“Aku tak bisa mundur lagi Opichi… tinggal berapa menit lagi?” tanyaku sambil menge check riasanku yang kini sudah sempurna kembali.

“Sepuluh menit…” katanya setelah melihat jam tangannya.

“Jangan kemana-mana ya… temani aku disini sampai Ayah menjemputku…” hanya Opi yang bisa membantuku tenang dalam keadaan seperti ini.

“Wakatta…” katanya lalu menggenggam tanganku.

==============

Taisuke’s POV

Meru keluar dari ruangan karena ayahku datang. Tua bangka sialan yang membuat diriku begini. Tak punya pilihan lain.

“Kenapa gadis itu ada disini?” itu pertanyaan pertamanya.

“Hmmm.. betsu ni…”

“Kau mau mengurungkan niatmu untuk menikahi Sora-chan karena gadis itu?”

Jawaban yang tak perlu kujawab.

“Sebenarnya aku bisa saja memberikan pinjaman kepada Toru tanpa membuatmu menikah dengan Sora-chan…tapi… itu permintaan terakhir Ibumu… aku ingin mewujudkannya…” kata Ayah dengan suara lirih.

Ia memang begitu mencintai Ibu. Maka saat Ibu meninggal pada saat aku masih berumur 17, Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor untuk melupakan kesedihannya.

“Maksudmu?”

“Ibumu ingin Sora-chan ada yang melindungi. Dan menurutnya, kau lah yang paling pantas untuk tugas itu,”

“Hah?” aku berusaha mencerna semuanya.

“Sora-chan sudah kehilangan ibunya sejak ia masih balita. Sejak saat itu, aku dan Ibumu sering menjenguk Sora dan Ayahnya. Ibumu sudah menganggapnya anak sendiri, apalagi kita tak punya anak perempuan,” Ayah menghela nafas berat, “Sejak saat itu sudah menjadi cita-citanya untuk membuatmu menikah dengan Sora-chan. Menurutnya, kau harus menjadi suaminya…”

“Mengorbankan kebahagiaanku?”

“Maafkan aku nak. Lagipula kau dan Sora sudah berteman sejak kecil, kan? Sora sudah seperti adikmu sendiri…” tambahnya lagi.

Kami memang beberapa kali bertemu saat kami masih kecil. Tapi sebatas itu saja. Kami tak pernah sedekat yang mereka kira.

“Aku yakin kau akan bahagia dengan Sora-chan…” katanya lagi, lalu menepuk bahuku sekilas.

“Fujigaya Taisuke-san… harap berdiri di altar…” kata seorang pelayan yang membuka pintu ruangan itu dengan sedikit tak sabar.

“Wakatta…” ucapku lalu beranjak.

“Pergilah… aku ke ruangan Sora dulu…”

Aku mencibir dan keluar dari ruangan itu, menghela nafas berat. Dalam waktu beberapa menit saja, aku akan berubah status menjadi suami dari seorang Hideyoshi Sora. Mungkin namanya akan menjadi Fujigaya Sora.

Ku mantapkan langkahku. Jika itu memang keinginan Ibu, mungkin ini yang terbaik untukku.

==============

Sora’s POV

“Sora-chan…” pintu terbuka, dan sosok Fujigaya Keisuke muncul di pintu.

“Paman…” ucapku seidkit kaget.

Opi pamit dan bilang ia akan menungguku di depan.

“Ayah… panggil aku Ayah…kau sebentar lagi akan jadi menantuku kan?” katanya dengan lembut.

Aku menyunggingkan senyum paksa, “Iya… Ayah…” ucapku pelan.

Fujigaya-san ini memang sudah seperti Ayahku sendiri, ia adalah sahabat ayahku. Namun entah dengan alasan apa ia tetap tak mau meminjamkan uangnya pada Ayah kecuali aku menikah dengan anaknya, Taisuke.

“Kenapa matamu?” ucapnya sambil memandang mataku yang tentu saja sekarang ini memerah.

“Tidak apa-apa Ayah…aku baik-baik saja…”

“Katakan padaku Sora-chan…kau bahagia kan?”

Aku mengangguk setengah hati.

“Jujurlah padaku!” serunya lagi.

Tiba-tiba saja aku merasa pertahanan diriku runtuh, lalu dengan lirih aku menjawabnya, “Aku…maafkan aku Paman…”

“Tenang saja paman…aku akan tetap menikah dengan Taisuke…” kataku akhirnya, setelah melihat ekspresi wajah pria tua itu menjadi bingung.

“Sora…” suara Ayahku terdengar di pintu itu, “Ayo…sudah waktunya…”

Aku mengangguk, “Gadisku harus ku antar kesana Keisuke…” ucap Ayahku pada Fujigaya-san.

“Wakatta Toru…” jawabnya sambil tersenyum ke arah Ayahku.

Aku mengangkat gaunku dan meraih tangan Ayah yang akan mengantarku ke depan altar.

“Kau siap, Sora?”

Aku mengangguk dan sekali lagi berdehem agar tangisku tak lagi mengalir.

Pintu dibuka.

Aku berjalan sambil menggandeng tangan Ayah. Sambil berjalan, Ayah terus membisikkan kata-kata yang membuatku sedikit tenang.

Aku menoleh ke kiri, dan seorang gadis berpakaian hitam seperti akan ke pemakaman menatapku sambil berurai air mata. Aku tak kenal siapa dia, tapi sepertinya gadis itu mungkin pacar Taisuke.

Dengan risih aku kembali menatap ke depan, mendapati seorang Fujigaya Taisuke menatap ke arahku sambil tersenyum canggung.

Tak pernah ada hal romantis di antara kita berdua.

Pasti rasanya aneh sekali menikah dengannya. Berbagi kehidupan dengan seseorang yang kau anggap teman biasa.

Aku kembali menoleh ke arah lain, kulihat Nika menatapku juga. Pandangan yang tersakiti namun berusaha tegar itu membuatku terbatuk karena menahan air mata yang jatuh.

Lalu beberapa detik kemudian ia tersenyum, menunduk sekilas sebelum berbalik dan keluar dari aula.

Ayah menyentuh tanganku untuk menyadarkan aku bahwa aku sudah berada di depan Taisuke.

Ia menyerahkan tanganku pada Taisuke yang menyambutnya sambil tersenyum pada Ayah.

Kami saling bertatapan. Berbagi kesedihan yang sama atas nasib kisah cinta kami berdua yang miris dan tak terselamatkan.

Kurasakan udara sangat berat dan membuatku sesak nafas. Seakan gravitasi tersedot dan tubuhku melayang-layang. Bahkan aku tak mampu mendengarkan apa yang diucapkan orang yang akan menikahkan aku.

“Sora…” panggil Taisuke, “Jangan menyiksa dirimu seperti ini…”

Aku sadar sejak tadi aku mengurai air mata tanpa aku sendiri sadari, “Taisuke-san…”

“Pergilah…” ucapnya lembut.

Aku menoleh dan menatap Fujigaya Keisuke-san yang beberapa detik kemudian mengangguk seperti memberi sinyal padaku untuk meninggalkan altar. Mengejar Nika keluar.

“Maafkan aku…”

Fujigaya menggeleng lalu mengecup pelan dahiku, “Pergilah…”

Tanpa pikir panjang aku berlari meninggalkan altar, membuat seluruh orang di ruangan berdiri kaget dan berbisik-bisik sau sama lain. Sekilas aku melihat Ayah tersenyum menenangkan aku sebelum aku menghirup udara luar.

“Nikaaa!!” seruku ketika kulihat Nika akan menaiki sebuah taksi.

“Eh? Sora!!??” serunya tak kalah kaget.

Aku menghambur ke pelukan Nika. Memeluknya erat dan tak ingin aku lepaskan lagi. Aku ingat apa yang Ayah katakan selama kami berjalan menuju altar tadi.

“Sora… Ayah ingin kau bahagia…pikirkan lagi… ini membuatmu bahagia kah? Aku akan berbicara dengan Keisuke.. dan aku yakin semuanya akan baik-baik saja..”

“Ayah…aku….”

“Kumohon putriku… jangan berbohong lagi padaku…”
===============

Taisuke’s POV

Kulihat Meru tertidur dipelukanku. Tak tergambar rasa senangnya ketika melihat Sora berlari keluar dengan mengangkat gaunnya.

Ayah memberi kode padaku untuk mendekat padanya.

“Ya Ayah? Kenapa kau tadi menyuruhku untuk melepaskan Sora?”

Ya.

Sebelum Sora berjalan menuju altar, Ayah mendatangiku dan bilang bahwa aku tak perlu menikah dengan Sora.

“Ia tak bahagia denganmu…dan Ibumu akan marah padaku jika membiarkanmu menikah dengannya… yang ia inginkan pasti kebahagiaan Sora…” ucapnya lalu berjalan ke arah altar, “Aku harus menjelaskan semuanya… keluarlah dari tempat ini Taisuke..” perintahnya pelan.

Kupeluk tubuh Meru yang memelukku dengan sikap protektif. Kami dalam perjalanan menuju ke apartemenku.

“Aku tak akan meninggalkanmu lagi…” bisikku padanya, walaupun ia tak mendengarnya.

===============

OWARI!!!!

Ayey… Fanfic yang sangat gaje sekali…
Ditulis singkat dan tak dipikirkan plotnya sama sekali…ahhaha..
Demo,
COMMENTS ARE LOVE…
Please Don’t Be A Silent Reader… 🙂
Maafkan atas kegajean saya…hahahaha #plakk

1 thought on “[Oneshot] Broken Vow

Leave a comment