[Multichapter] Le Ciel e Youkoso (chap 5)

jTittle              : Le ciel e Youkoso : Believe Your Self
Author           : Fuchii & Aquina
Genre             : AU, Slice of Life
Cast               : Lewis Jesse, Tanaka Juri, Morimoto Shintaro, Kyomoto Taiga, Matsumura Hokuto, Kouchi Yugo (SixTONES); OC
Disclaimer    :
SixTONES members are under Johnnys & Associates

potato_201701_14-copy

Project natal yg terinspirasi oleh photoshoot di majalah Potato edisi Januari 2017. Mohon maaf apabila ada typo dan alur yg terkesan cepat karena author sendiri ngerjainnya ngebut demi ngejar natal meskipun ujung-ujungnya ga dipost pas natal juga X’D

Selamat menikmati! Ditunggu komennya~ :3

“Le ciel e youkoso.”

Ucap keenam pelayan tampan saat pelanggan membuka pintu kaca Café itu. Jangan lupakan senyum ramah mereka setiap kali melayani para pelanggan.

Le ciel Café yang hanya buka saat menjelang natal. Café itu selalu penuh setiap harinya. Café yang buka pada hari Senin hingga Kamis pukul 10 siang hingga jam 6 sore selama satu bulan tepat sebelum hari natal. Café yang sangat terkenal dikalangan remaja putri bukan hanya karena pelayannya merupakan pemuda yang tampan ataupun makanan dengan rasa yang enak, tapi berdasarkan rumor yang beredar, pelayan dari Café ini akan menemanimu dan membantumu menyelesaikan masalah yang sedang kau hadapi. Tentu saja servis itu tidak semata-mata dapat kalian minta saat datang ke sana seperti kalian memesan cheesecake ataupun milkshake, bisa dibilang itu adalah secret service Le ciel Café.

Berdasarkan rumor juga, jika kalian datang ke Café ini saat sedang memiliki masalah, entah bagaimana cara mereka mengetahuinya, salah satu dari pelayan itu akan memberi kalian secarik kertas berwarna yang bertuliskan “Kau bisa bicara denganku jika kau sedang memiliki masalah” beserta dengan nama si pelayan juga tempat dan waktu yang dia berikan untuk pertemuan.

Pelayan itu akan menunggu kalian seharian di tempat pertemuan itu. Karena saat itu ada seorang gadis yang pada mulanya tak mempercayai tulisan yang tertulis pada kertas kecil itu. Namun akhirnya ia memutuskan untuk datang untuk memastikan apakah hal itu benar atau tidak. Pelayan itu menuliskan untuk bertemu pada jam 11 siang, namun gadis itu baru sampai di sana pada pukul 7 malam, dan pelayan itu masih setia menunggu di sana. Tak ada ekspresi kekesalan pada wajah pemuda itu, sebaliknya, ia malah tersenyum dan berkata, “Akhirnya kau datang juga. Aku khawatir terjadi sesuatu padamu. Jadi, maukah kau menceritakan hal yang mengganggu pikiranmu? Aku akan membantumu.”

 

*****

 

Saki termenung di tempatnya duduk. Makan siang yang terhidang di hadapannya terabaikan begitu saja. Manik hitamnya terfokus pada satu sosok yang tak bisa ia abaikan sedetikpun dalam hidupnya. Seorang pemuda yang terus menjadi pusat perhatiannya selama 2 tahun kehidupannya sebagai mahasiswi di kampus ini.

Pemuda itu terlihat tengah menyantap makan siangnya bersama dengan teman-temannya. Bersenda gurau dan tertawa bersama. Jarak antara Saki dan pemuda itu cukup jauh, sehingga Saki berani untuk menatap pemuda itu terus menerus. Melihat senyum pemuda itu terkembang, membuat Saki tanpa sadar ikut tersenyum tipis.

“Saki,” Seorang gadis yang duduk di sebelah gadis berambut panjang itu menyenggol pelan lengannya. Mau tak mau Saki harus rela mengalihkan pandangannya, “Hm? Ada apa, Nana?”

Nana, sahabat dekat Tachibana Saki, menghela napas besar, “Sampai kapan kau memandanginya? Kenapa tak coba kau menyapanya?”

Saki memutar bola matanya enggan, “Tidak terima kasih. Lagipula bagaimana bisa aku tiba-tiba menyapanya, sedangkan kami berdua tak pernah berkenalan sama sekali.” Saki kembali menyantap makan siangnya yang mulai dingin.

“Aku yakin orang-orang beranggapan jika kau dan dia pasti saling tahu walau tak pernah berkenalan, Saki.”

Saki mengernyit, “Bagaimana bisa?”

Nana mengusap wajahnya frustasi, “Dia berasal dari keluarga pemusik yang terkemuka. Ayah dan ibunya adalah seorang pemusik handal. Dan dirimu, Tachibana Saki, adalah putri tunggal dari seorang maestro dan pianis yang dikenal seantero Jepang, ah tidak, bahkan dunia. Tak mungkin pemuda itu tak mengenal dirimu.” Nana sedikit menaikkan nada suaranya. Saki tak berekspresi, ia masih diam mengunyah makan siangnya.

“Kemana otak jeniusmu saat menggugah lagu-lagu klasik untuk kompetisi?” Nana mulai bersarkas.

Saki meneguk air mineralnya, “Hal itu dan ini adalah hal yang berbeda.”

“Terserah kau saja,” Ucap Nana menyerah.

.

.

Tachibana Saki, mahasiswi tingkat 2 jurusan seni musik. Gadis yang lahir dari keluarga pemusik yang terkenal. Ayahnya adalah seorang maestro yang dikenal seantero Jepang, sedangkan ibunya adalah seorang pianis klasik yang telah melebarkan sayapnya ke luar negeri. Begitu juga dengan dirinya, ia mewarisi darah musik dari kedua orang tuanya. Sejak kecil telah memenangkan berbagai perlombaan bermain piano. Ya, Saki lebih banyak mewarisi darah pianis dari ibunya.

Seperti yang Nana katakan tadi, siapa yang tak mengenal Saki di kampus mereka? Kampus mereka adalah universitas khusus mengenai seni. Tentu Saki cukup dikenal terutama di jurusan seni musik. Tapi lahir di keluarga terpandang tidaklah membuat Saki menjadi sombong dan merasa berbeda. Ia tetap bergaul dengan teman-temannya yang lain. Pergi karaoke, belanja, ataupun sekedar nongkrong di café.

Seperti sekarang, sepulang kuliah, Nana mengajak Saki untuk mencoba suatu café yang sedang digandrungi para remaja putri.

Le ciel Café.

“Apa istimewanya café ini dengan café lain?” Tanya Saki sambil mengunyah matcha cake nya. Matanya menyapu seisi café yang seluruh pelanggannya adalah perempuan dari berbagai usia. “Apa hanya karena para pelayannya berparas lumayan?” Lanjutnya saat melihat pelayan berambut hitam ber-nametag Matsu tengah tersenyum ketika melayani pelanggan lain.

Nana yang semula sibuk dengan sosial media di ponselnya menoleh, “Kau tidak tahu tentang rumor itu?”

“Rumor?”

“Jika kau sedang ada masalah, datanglah kemari. Dan salah satu dari pelayan itu akan membantumu menyelesaikan masalahmu,” Jawab Nana lagi.

Saki mengernyit tak paham, “Bagaimana caranya? Memang para pelayan di sini psikiater? Atau seorang pahlawan super dengan kekuatan membaca pikiran atau dapat melihat masa depan?”

“Mana aku tahu. Namanya juga rumor.” Jawab Nana cuek dan kembali fokus dengan ponselnya. Saki mencibir dengan kecuekan sahabatnya itu. Melihat langit di luar sudah semakin memerah, Saki melirik jam di pergelangan tangannya.

“Ah, sudah jam segini!” Saki memekik tertahan.

“Ada apa?” Tanya Nana bingung karena Saki terlihat panik membereskan barang bawaannya.

“Aku ada les piano jam 7 nanti!” Saki kembali mengecek jam tangannya. Jam 5 sore, dan rumahnya cukup jauh dari tempatnya berada sekarang.

“Nana, maafkan aku. Sepertinya aku harus duluan. Atau kau ikut pulang bersamaku?” Tanya Saki yang sudah siap berdiri dan menenteng tasnya. Nana menggeleng, “Maaf, tapi aku masih ingin di sini. Apa kau tidak apa-apa pulang sendirian?”

“Tidak apa-apa. Maafkan aku harus pulang duluan! Kalau bukan karena perlombaan akhir bulan nanti, jadwal lesku hanya pada hari Senin.” Jawab Saki sedikit tidak enak karena ia harus meninggalkan sahabatnya dan pulang lebih dulu.

Nana tersenyum dan menggeleng, “Tidak tidak, seharusnya aku yang minta maaf. Aku tidak tahu kau ada les hari ini. Maafkan aku tidak bisa pulang bersamamu..”

Saki bangkit dari duduknya, “Tidak masalah, Nana. Kalau begitu aku duluan. Mata ashita!

Mata ashita! Ki o tsukete ne!”

Dengan cepat Saki membayar pesanannya di kasir. Setelah mendapat struk dan kembalian dari pelayan ber-nametag JC itu, Saki segera menyimpannya ke dalam saku mantelnya. Kemudian ia berlari menuju pintu keluar café.

“Terima kasih atas kunjungannya, Ojou-sama,” Seorang pelayan ber-nametag Kyo membukakan pintu untuk Saki. Tanpa sempat tersenyum ataupun menoleh pada pelayan itu, Saki hanya menjawab, “Terima kasih.” Dan ia berlari keluar café agar tak terlambat untuk les pianonya.

.

.

“Otsukaresama deshita, Saki-san.” Ucap seorang wanita paruh baya pada Saki. Saki membungkuk sopan, “Otsukaresama deshita, Sensei.” Kemudian wanita itu tersenyum dan berpamitan untuk undur diri.

Sepeninggal guru lesnya itu, Saki beranjak menuju kamarnya. Ia melemparkan badannya pada tempat tidurnya. Les hari ini cukup melelahkan, Saki cukup banyak membuat kesalahan karena pikirannya yang tidak fokus. Entah kenapa setiap ia mendengar nada dari tuts piano yang ditekannya, bayangan wajah pemuda yang disukainya itu muncul dan memenuhi kepalanya.

“Kau harus fokus, Saki! Kau tidak boleh gagal di perlombaan nanti! Masalah cinta bisa menunggu.” Ucapnya bermonolog.

Ya, Saki tak ingin masalah pribadi terutama masalah cinta ini mengacaukan permainan pianonya. Namun itu bukan alasan sebenarnya mengapa gadis berambut panjang itu tak menyatakan cintanya pada pemuda yang disukainya itu.

Saki merasa hanya cukup melihat dari jauh. Gadis itu hanya berdalih jika perasaannya pada pemuda itu hanyalah sebuah rasa kagum. Karena bagaimanapun pemuda itu mempunyai suara dan permainan gitarnya yang sangat bagus. Tak memilikipun tak masalah, katanya. Namun kenyataannya Saki masih terus bergulat dengan perasaannya sendiri saat melihat pemuda itu terlihat dekat dengan gadis lain di kampus.

.

.

“Samui~” Keluh Saki seraya mengeratkan syalnya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku mantel panjangnya. Jemari lentiknya merasa menyentuh sesuatu yang berada dalam saku mantelnya. Ia menariknya keluar untuk mengetahui apakah benda yang berada di sana.

Struk Le ciel café kemarin dan uang kembalian. Namun saat hendak membuang struk itu, ia menyadari jika selain struk dan lembaran uang, di sana masih ada secarik kertas lain.

Kertas berwarna pink terlipat dengan rapi di balik struk.

Dengan penasaran, Saki membuka kertas itu.

“Tak ada salahnya mengutarakan apa yang kau ingin katakan. Berdiam diri pada zona nyaman bukan berarti kau tak akan merasa gelisah. Mari bertemu, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan. Ku tunggu di Melody Café di dekat stasiun hari Sabtu tanggal 17 Desember jam 2 siang.”

Saki mengernyit. Tak mengerti dengan apa yang barusan dibacanya. Sepucuk surat aneh dengan sederet kalimat tak jelas, tiba-tiba berada di dalam sakunya. Tapi tiba-tiba ia teringat perkataan Nana mengenai rumor café yang didatanginya kemarin.

Masaka?” Saki mulai memikirkan kemungkinan jika salah satu dari pelayan café itu memberikan surat tadi kepadanya bersamaan dengan ia menerima struk.

Saki telah memasuki gerbang kampusnya. Hari ini ia ada kelas pagi dan kelas terakhirnya selesai saat hari menjelang sore. Belum lagi suhu hari ini turun beberapa derajat dari hari kemarin. Itulah yang membuat Saki memakai pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Ia tak ingin dirinya menjelma menjadi manusia salju seperti yang dibuat anak-anak kompleks di taman dekat rumahnya.

Ketika ia sibuk dengan berbagai spekulasi mengenai sepucuk surat merah jambu tadi, netra bulatnya menangkap sosok pemuda yang sangat dikenalnya. Hatinya menjerit bahagia. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat pemuda itu tertawa ketika sedang bercengkerama dengan teman-temannya.

Ia merasa sudah cukup puas dengan melihat senyum dari pemuda itu. Ia bisa tersenyum jika melihat pemuda itu tersenyum. Namun di sisi lain hatinya berteriak jika ia juga ingin menjadi alasan pemuda itu tersenyum. Tak muluk-muluk, Saki hanya ingin bisa menyapanya. Hanya sekedar mengucapkan ‘ohayou’ ataupun menyerukan nama pemuda itu untuk sekedar menyapa. Seperti yang teman-teman pemuda itu lakukan. Oh ya, pemuda itu adalah salah satu kakak kelas Saki. Pemuda itu berada di tingkat 3 dengan jurusan yang sama dengan Saki.

Terlintas kembali bagaimana awal Saki menyukai kakak tingkatnya itu. Sebuah kejadian klasik dan mungkin akan sangat dirasa sepele bagi orang lain, namun itu adalah hari yang tak terlupakan bagi Tachibana Saki.

Saat upacara penerimaan mahasiswa barunya 2 tahun lalu, pemuda itu tampil sebagai vokalis dan gitaris sebuah band yang memeriahkan acara penerimaan mahasiswa baru itu. Saki terpesona dengan kepiawaian pemuda itu memetik senar gitar dan dengan teknik vokalnya. Tumbuh dalam keluarga pemusik tentu membuat Saki tanpa sadar peka terhadap permainan musik. Saki paham betul jika bakat dan kepiawaian pemuda itu juga merupakan bakat turun temurun. Sama seperti dirinya yang mewarisi bakat bermain piano dari ibunya.

Mulai sejak saat itu, Saki menetapkan hatinya untuk menjadi seseorang yang akan  terus memperhatikan pemuda itu. Karena itulah, Saki bersikukuh jika perasaannya pada pemuda itu hanyalah sekedar kagum. Sama seperti teman-teman perempuannya mengidolakan sosok aktor ataupun idola laki-laki yang muncul di layar televisi.

.

.

Ne,” Saki ragu-ragu menegur Nana yang sedang membereskan buku-bukunya. Mereka baru saja selesai kelas pertama dan harus segera pindah ke kelas lain untuk materi selanjutnya.

“Ada apa?” Tanya Nana. Saki memajukan sedikit badannya, kemudian berbisik, “Aku ingin tahu tentang rumor Le ciel café itu..”

Nana menatap Saki penuh dengan tanda tanya. Sedangkan Saki tersenyum kikuk. Nana mendahului Saki untuk berjalan menuju kelas selanjutnya. Dengan cepat Saki menyusul sahabatnya itu.

“Ada apa? Kau mendapat sepucuk surat dari pelayan café itu?” Tanya Nana to the point. Saki terperanjat, “Bagaimana kau bisa tahu?” Tanpa sadar Saki meninggikan suaranya. Membuat orang-orang yang ada di koridor kampus menoleh padanya. Dengan cepat Saki menutup mulutnya dengan sebelah tangannya karena tangan kirinya ia gunakan untuk membawa clearfile.

Nana terkekeh, “Jadi, kau benar-benar mendapatkan surat itu?”

Saki mengangguk kecil, “Kau juga mendapatkannya?” Tanya Saki penasaran. Saki bukanlah orang yang cukup update dengan rumor-rumor seperti itu. Maka dari itu, Nana maklum dengan kepolosan Saki.

“Tidak.” Jawab Nana singkat. Sebelum Saki bersuara, Nana melanjutkan kalimatnya, “Ada rumor yang mengatakan jika kau mendapatkan surat dari mereka. Itu artinya ada masalah dengan dirimu. Dan mereka akan membantumu menyelesaikan masalahmu itu.” Nana menggunakan jarinya untuk memberi tanda kutip pada kata-katanya.

“Masalah?” Saki mengernyit. Ia menerawang jauh. Memang ada apa dengan dirinya?

“Memang aku punya masalah apa?” Tanya Saki polos. Nana gemas dan mencubit lengan Saki yang mengakibatkan gadis itu mengaduh. “Mana aku tahu! Aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiran dan hatimu.”

Beberapa saat, mereka berdua diam. Saki sibuk dengan pikirannya.

“Itu berarti aku harus pergi menemui orang yang memberiku surat itu? Aku tak mengenal mereka.”

“Itu terserah padamu,” Jawab Nana mengedikkan bahu. “Tapi asal kau tahu, pelayan itu akan terus menunggu client­­-nya datang walau harus menunggu berjam-jam. Kau boleh saja tak datang, namun jangan salahkan aku jika kau tak bisa masuk surga karena kau telah membuat salah satu dari pelayan itu mati membeku akibat menunggumu semalaman.”

Saki meringis. Baiklah. Sepertinya ia harus datang.

.

.

“Hai,” Sebuah suara husky menyapa gendang telinga Saki yang sedang fokus menulis not-not balok di buku catatannya. Saki mendongak dan mendapati seorang pemuda pirang dengan jaket kulit hitam tengah tersenyum lebar padanya.

Saki langsung menegakkan badannya. Ia gugup bukan main.

“Saki-san?”

Eh? H-hai…” Saki mengangguk.

“Maaf sudah menunggu. Panggil aku Kyo. Kau adalah client-ku hari ini.” Jawab pemuda itu dan mengambil tempat di hadapan Saki.

Saki menatap pemuda pirang itu lekat-lekat, membuat Kyo mengernyit, “Ada sesuatu di wajahku, Saki-san?” Saki benar-benar tidak ingat jika pemuda yang berdiri di hadapannya sekarang merupakan salah satu pelayan di café kemarin.

Sedetik kemudian ia sadar, ia tak terlalu memperhatikan para pelayannya karena ia harus bergegas pulang kemarin. Namun ia sedikit teringat dengan pelayan pirang yang membukakan pintu café untuknya kemarin. Karena ia buru-buru, ia tak melihat dengan jelas wajah pelayan tersebut.

Saki menggeleng cepat, “Ah, sumimasen. Tidak, tidak ada apa-apa…” Saki menggantung kalimatnya. Ia tak cukup fokus untuk mengingat harus bagaimana ia menyebut nama pemuda yang pastinya adalah seorang pelayan Le ciel Café itu.

“Kyo. Panggil aku Kyo saja, Saki-san.” Dengan lembut Kyo menjawabnya.

Ah, hai, Kyo-san…” Saki membungkuk sekilas.

“Apakah aku mengganggumu?” Kyo menatap buku catatan Saki yang terbuka. Saki menggeleng, “Tidak. Aku hanya sedikit mengulang materi lesku untuk mengisi waktu.”

Kyo mengangguk-angguk, “Sepertinya tak salah aku memilih tempat pertemuan di café ini..” Pemuda pirang itu tersenyum dan menyapukan pandangan pada seisi café. Interior café ini penuh dengan segala hal yang berbau tentang musik. Mulai dari pajangan ataupun lukisan yang merupakan figur para pemusik terkenal, dekorasi dengan berbagai bentuk not balok. Bahkan di sisi ruangan ada sebuah piano dan gitar yang pelanggan café itu bisa mainkan.

Saki tersenyum, rona merah tercipta di pipi porselennya, “Terima kasih sudah menentukan tempat ini sebagai tempat pertemuan. Aku sangat senang..”

Kyo terkekeh, “Tak perlu seformal itu padaku, Saki-san..”

Saki terus menunduk, tak berani menatap wajah pemuda dengan kulit seputih salju itu.

“Jadi, Saki-san adalah pemusik?”

Saki tersenyum kikuk, “Aku masih belajar.. Menurutku, aku belum pantas untuk disebut sebagai pemusik.”

“Begitukah? Lalu orang seperti apa yang sudah pantas disebut sebagai pemusik menurut pandanganmu?” Tanya Kyo dengan menopangkan sebelah tangan di dagunya. Memperhatikan dengan seksama ekspresi dan semua kata-kata yang keluar dari mulut client-nya hari ini.

Saki mengalihkan pandangannya, tak berani memandang pemuda itu. Bisa-bisa ia hanya memandanginya saja seperti orang bodoh karena terlalu terpesona dengan ketampanan dan senyumannya tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan lawan bicaranya itu.

“Menurutku jika orang itu sudah bisa membuat orang lain tergerak dengan musik yang ia main atau ciptakan…” Jawab Saki tersenyum tipis.

Kyo mengangkat sebelah alisnya, “Tergerak?”

Saki mengangguk, “Jika orang itu bisa membuat hati orang lain tersentuh, mungkin?” Kyo menggumam paham, “Lalu apakah Saki-san ingin menjadi orang seperti itu? Orang yang bisa menggerakkan hati orang lain dengan musik yang Saki-san cipta dan mainkan.”

Saki terdiam sejenak. Jika orang yang mengenalnya pastilah akan berpikir jika jawaban dari pertanyaan itu sangatlah mudah. Namun entah kenapa Saki tak bisa menjawabnya dengan cepat.

“Aku… Sesungguhnya tak tahu apakah aku akan bisa ataupun ingin menjadi orang seperti itu…” Lirih Saki. “Aku tumbuh di keluarga pemusik. Tentu saja sejak kecil aku telah dikenalkan dengan musik.”

Kyo masih memperhatikan dengan seksama, “Apakah Saki-san membenci musik?”

Saki menggeleng cepat, “Karena telah diperkenalkan dengan musik sejak kecil, tanpa sadar aku mencintai musik seperti aku mencintai orang tuaku yang memberiku kehidupan. Aku merasakan jika musik adalah bagian dari diriku, Kyo-san..”

“Lalu apa yang membuatmu ragu?”

“Aku… Sesungguhnya cukup tertekan dengan banyaknya piala dan piagam yang berhasil ku dapatkan dari berbagai perlombaan sejak kecil.” Entah kenapa Saki bisa mengatakan masalah ini dengan mudah, padahal ia baru saja berbicara dengan Kyo hari ini. “Aku khawatir, apakah aku akan bisa melanjutkan jejak orang tuaku sebagai pemusik… Bukan berarti aku tak ingin, tapi… aku hanya takut jika aku tak mampu.”

Kyo tersenyum tipis, “Khawatir dan gelisah adalah hal yang wajar. Semua orang dengan sikap yang sangat tenang dan rencana matang pasti juga merasakan kekhawatiran walau setitik saja. Menurutku lebih baik jika Saki-san lebih percaya pada diri sendiri.”

Saki diam. Ia sibuk dengan pikirannya dan memikirkan perkataan Kyo.

“Saki-san telah memenangkan banyak kompetisi, tapi sampai sekarang Saki-san juga masih berusaha mengasah bakat Saki-san. Percaya diri bukan berarti berpuas diri, Saki-san.” Lanjut Kyo lagi. Saki menunduk, benar juga.

Percaya diri bukan berarti berpuas diri.

“Apakah Saki-san memiliki seseorang yang diidolakan? Seseorang yang telah membuat hati Saki-san tersentuh.”

DEG

Saki berpikir, apakah perasaannya pada kakak tingkatnya itu adalah sebatas kagum? Atau biasa disebut dengan mengidolakan? Tentu baginya sederet pemusik klasik kelas internasional adalah idolanya. Termasuk kedua orang tuanya sendiri. Tapi… Entah kenapa ketika ditanya seperti itu, Saki tergelitik untuk menjawab dengan nama kakak tingkatnya itu.

“Emm…” Bibir Saki bahkan sampai bergetar untuk menjawabnya.

Menyadarinya, Kyo tersenyum, “Tak perlu memaksakan diri untuk menjawab, Saki-san…”

Akhirnya Saki memberanikan diri untuk menatap Kyo yang daritadi setia memandanginya tanpa lepas sedikitpun. Hal itu membuatnya gugup. Biasanya orang-orang akan memperhatikannya dengan seksama seperti itu hanya pada saat dirinya bermain piano.

Anou, Kyo-san…” Saki menggigit bibir bawahnya. Sangat memalukan rasanya menceritakan perihal percintaannya, terutama pada pemuda di hadapannya ini. Namun sepertinya ia sudah tak sanggup untuk terus terombang-ambing dalam kebingungan hatinya sendiri.

“Ya?” Kyo tersenyum ramah.

“Saat Kyo-san menanyakan hal tadi. Apakah aku mempunyai seseorang yang telah membuat hatiku tersentuh atau tidak… Mungkin kau akan menebak sederet nama pemusik internasional yang melegenda sebagai jawabanku.” Saki kembali menunduk. Menatap deretan not balok yang ditulisnya di buku catatannya. Sedangkan Kyo masih diam menunggu lanjutan jawaban dari Saki.

“Tapi entah kenapa aku merasa jika seseorang itu adalah salah satu dari senior laki-laki ku di universitas…”

Takut-takut, Saki melirik Kyo. Pemuda pirang itu masih dengan setia memperhatikan Saki. “Dua tahun yang lalu, aku mendengar kepiawaiannya dalam memainkan gitar. Dan sejak saat itu hingga saat ini, aku merasa jika ia adalah orang yang membuatku untuk terus bermain musik hingga sekarang.”

“Saki-san menyukainya?”

“Tidak!” Saki menggeleng cepat. “Maksudku, aku tidak tahu… Aku kesulitan menerka perasaanku sendiri. Apakah aku hanya mengidolakannya atau aku benar-benar menyukainya? Aku tak tahu yang mana yang benar. Kami bahkan tak pernah saling berbicara satu sama lain. Kami tak pernah berkenalan sebelumnya…”

Masih dengan senyumnya, Kyo menjawab, “Apakah Saki-san senang mendengar permainan musiknya?”

Saki mengangguk kecil.

“Apakah Saki-san selalu ingin mendengar permainan musiknya?”

Un…

“Apa Saki-san menyukai senyumnya? Menyukai caranya tertawa?”

Lagi-lagi Saki mengangguk.

“Apa Saki-san ingin menjadi alasan bagi dia untuk dapat tertawa juga?”

DEG.

Saki bungkam. Ia tak tahu harus berkata apa. Seperti yang selalu ia katakan pada Nana, ia cukup melihat kakak tingkatnya itu dari jauh. Namun hati kecilnya juga berteriak jika ia juga ingin mengenal pemuda itu.

“Apa kau takut akan terjatuh jika berharap terlalu tinggi, Saki-san?”

Saki menunduk semakin dalam. Jemarinya menggenggam erat blouse putihnya. “Aku hanya ingin melihatnya dari jauh. Tak ingin terlalu dekat, karena dia sangat menyilaukan untukku. Tapi… Di sisi lain aku juga ingin bisa menyapanya.”

“Saki-san nyaman dengan kondisi seperti ini? Membiarkan hati kecil Saki-san terus berteriak karena Saki-san terus berdiam diri di zona nyamanmu.”

“Zona nyaman?”

“Berdalih jika kau mengidolakannya, padahal kau menyukainya. Atau mungkin bahkan menyayanginya. Tak ingin terlalu dekat, tapi sisi lainmu ingin menyapa. Aku yakin jika Saki-san telah mengetahui jawabannya sejak lama. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri untuk dapat menerima jawaban yang sebenarnya.”

Saki menggigit bibir bawahnya. Itu benar. Sebenarnya ia telah mengetahui jawabannya. Ia hanya berdalih dan tak mau mengakuinya.

“Saat Saki-san telah mengetahui jawabannya, cobalah untuk menerimanya. Setelah itu, kau akan bisa mengambil keputusan untuk melangkah maju ke depan. Hidup adalah pergerakan, Saki-san. Jangan terus berdiam diri di zona nyamanmu. Atau kau akan kehilangan sesuatu yang berharga bagimu.” Kyo tersenyum hangat pada client-nya itu.

.

.

“Jangan terus berdiam diri di zona nyamanmu saja. Atau akan kehilangan sesuatu yang berharga bagimu.”

Saki terus mengulang kalimat yang dilontarkan oleh salah satu pelayan Le ciel Café yang mengajaknya bertemu tadi siang.

“Sesuatu yang berharga?” Gumam Saki. Ia memeluk erat boneka teddy nya, menenggelamkan wajahnya pada bulu putih teddy-nya. “Dousuru~?” Saki menghentakkan kakinya pada tempat tidurnya.

“Hidup adalah pergerakan…”

Suara Kyo kembali terngiang. Saki menghela napas berat, “Aku takut…” Lirihnya.

“Aku yakin jika Saki-san telah mengetahui jawabannya sejak lama. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri untuk dapat menerima jawaban yang sebenarnya.”

Saki mengulurkan tangannya ke udara, menghalangi cahaya lampu yang menerangi kamarnya. “Silau…” Ia kembali menggumam. “Seperti dia… Dia yang menerangi jalanku untuk dapat terus berlari. Tapi aku takut untuk menggapainya, karena jika terlalu dekat, aku tak bisa memandangnya di depanku dan mendapatkan sinarnya di jalanku…”

“Tak ingin terlalu dekat, tapi sisi lainmu ingin menyapa.”

“Aku ingin!” Seru Saki sambil menahan air matanya yang menerobos keluar dari pelupuk matanya.

“Membiarkan hati kecil Saki-san terus berteriak karena Saki-san terus berdiam diri di zona nyamanmu.”

Saki mulai terisak. Hati kecilnya terus berteriak, namun otaknya terus menahannya. Mengalihkan perasaan yang nyatanya sangat ia rasa dan pahami, menjadi sebuah perasaan semu.

“Cobalah untuk menerimanya. Setelah itu, kau akan bisa mengambil keputusan untuk melangkah maju ke depan.”

.

.

Saki berlari menyusuri koridor kampusnya. Menyapukan pandangannya pada setiap sudut yang dilewatinya untuk dapat menemukan sosok yang sedang dicarinya.

“Berdalih jika kau mengidolakannya, padahal kau menyukainya. Atau mungkin bahkan menyayanginya.”

Saki masih terus melangkahkan kakinya. Ia menahan air matanya. Ia telah menangis semalaman, tak ingin menangis lagi untuk saat ini.

“Apa Saki-san ingin menjadi alasan bagi dia untuk dapat tertawa juga?”

“Apa Saki-san menyukai senyumnya? Menyukai caranya tertawa?”

Saat ia menyapukan pandanganya pada taman belakang kampusnya, netranya menangkap sosok yang sedang ia cari-cari.

“Dia sedang sendirian! Ayolah, jangan sia-siakan kesempatanmu, Saki!” Ia berlari secepat yang ia bisa untuk mengejar sosok yang baru saja melintasi taman kampus dan masuk ke dalam koridor fakultasnya.

“Anou!” Dengan sisa tenaganya, Saki berseru. Sehingga membuat orang tersebut berhenti dan menoleh pada Saki.

Suki desu!” Teriak Saki dengan cukup lantang. Masa bodoh dengan orang lain yang melihatnya aneh. Tapi hatinya tak bisa lagi dibohongi. Ia menyukai pemuda itu. Kakak tingkatnya.

“Eh?” Pemuda itu terkejut bukan main. “Saki…san?”

“Kyo-san!” Saki menggeleng cepat. “Chigau! Kyomoto Taiga, suki desu! Taiga no koto ga daisuki desu!” Saki mengucapkannya dengan lantang diiringi dengan derasnya air matanya yang menerobos keluar.

Pemuda berambut pirang itu membatu di tempatnya berdiri mendengar pernyataan cinta dari client-nya kemarin, ah bukan, dari seorang Tachibana Saki, adik kelasnya di universitas.

 

– to be continue –

Leave a comment