[Minichapter] Dark Orange (chap 2)

  • Juara 1 SAGITTARIUS SQUAD Fanfic Challenge

Dark Orange
by. HINO
Genre: Romance, Historical, Friendship
Rating : PG-13
Starring : Maruyama Ryuhei, Ohkura Tadayoshi, Yasuda Shota (Kanjani Eight)
Other characters :Inagaki Goro (SMAP), Nagase Tomoya (TOKIO), Domoto Koichi, Domoto Tsuyoshi (Kinki Kids), Kitayama Hiromitsu (Kis-My-Ft2), Ohno Satoshi (Arashi), Murakami Shingo, Yokoyama Yuu (Kanjani Eight), Yaotome Hikaru (Hey!Say!JUMP), Tsukada Ryoichi (A.B.C-Z),Hamada Takahiro (Johnny’s West)
Disclaimer: All characters are under Johnny’s Entertainment.

WATCH THE TRAILER HERE!!

dark-orange-cover

“Baiklah, kita berpisah di sini,” Commander Murakami menepuk satu persatu bahu kami ketika Hamada masuk ke dalam ruangan dengan membawa tiga buah kain berwarna ungu. Aku dapat melihat stempel kerajaan Yoto tercetak di sana saat Commander Murakami memberikannya kepada kami.

“Terima kasih,” ucapku, Yasu, dan Ohkura berbarengan.

Sejak kami diselamatkan dari hutan dan Yasu mengaku bahwa ia ditugaskan untuk menyampaikan data perang kepada pihak musuh, keterlibatan kami dalam konflik kerajaan pun tidak bisa dihindari lagi. Semua informasi baru yang aku dengar darinya berhasil membuatku terkejut dan merasa tak percaya. Seperti juga ketika Yasu membeberkan detail rencana perang yang ia dapat dari General Yokoyama kepada Murakami Shingo di hari itu.

Sesuai dengan informasi tersebut, malam ini Raja Kitayama akan mengirim prajuritnya kurang lebih sebanyak seribu orang untuk menyerang wilayah barat Yoto. Namun serangan itu hanyalah sebuah pengecoh saja, sebab tujuan sebenarnya dari penghancuran tersebut adalah ibukota. Dengan jumlah prajurit sekitar tiga ribu orang, target mereka adalah pemukiman warga, peternakan, dan pusat-pusat pembangkit energi. Sebagai orang yang tumbuh besar dekat dengan lingkungan istana, rasanya sulit untukku percaya bahwa Raja Kitayama bisa setega itu menjadikan penduduk biasa sebagai sasaran perang.

Murakami Shingo, atau kini aku memanggilnya Commander Murakami, mengatakan bahwa Okto sedang menggunakan taktik induk ayam. Yakni taktik di mana mereka akan menghancurkan ibukota sebagai pusat regulasi untuk melumpuhkan wilayah-wilayah kecil di sekitarnya. Terima kasih kepada Yasu yang telah membocorkan informasi perang tersebut, Commander Murakami pun dapat segera membuat gerakan antisipasi. Meski sempat panik karena mengetahui bahwa Okto akan menggunakan senjata semacam alat peledak, namun pria itu yakin bisa mengevakuasi penduduk sebelum jadwal penyerangan tiba.

Di lain pihak, aku, Yasu, dan Ohkura memutuskan akan pergi ke Saikan untuk menemui Tsuyoshi. Walaupun Yasu berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, namun ia sendiri merasa harus tetap melakukan konfirmasi langsung kepada si pemegang kunci. Setelah berhasil memastikan dokumen resmi Jia tersebut valid, barulah kami bertiga bisa memilih hendak berada di kubu mana akan berpihak. Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu memikirkan hal itu, sebab aku memiliki Yasu dan Ohkura. Selama dua orang itu masih hidup, aku tidak perlu repot memikirkan ke mana aku harus pergi. Terkesan agak sedikit gila memang. Tapi aku tidak menyangkal bahwa aku bergantung pada mereka.

“Ingatlah untuk menunjukkan kain ini saat kalian tiba di Saikan, penduduk akan menunjukkan kalian tempat persembunyian Master Tsuyoshi,” ucap Commander Murakami memberitahu. Kami bertiga mengangguk. Sambil kemudian membenarkan posisi pedang di punggungnya, pria tersebut pun pergi meninggalkan ruangan. Jujur saja, sampai saat ini aku belum pernah melihat ada orang mampu bersikap setenang itu saat akan menghadapi peperangan, bahkan tidak dengan General Yokoyama sekalipun.

“Ia pasti sudah melewati banyak pertempuran sebelum ini,” gumamku entah kepada siapa. Tapi sepertinya Yasu mendengarku sehingga ia mengangguk menyetujui.

“Kita juga harus cepat bergerak kalau tak mau ketahuan oleh pasukan Okto,” Ohkura mengingatkan seraya mengintip ke luar ruangan dari balik tembok. Jubah hitam yang ia pakai membuat sosoknya tidak begitu terlihat jelas dari tempatku berdiri. Seperti bunglon yang sedang berkamuflase, lelaki itu seakan-akan telah menyatu dengan tembok di sekelilingnya. Dan untuk kami yang akan menyelinap di kegelapan, ini jelas sempurna.

“Kalau beruntung, dalam dua puluh empat jam kita akan sampai di Saikan seperti yang Commander Murakami katakan,” ucap Yasu menambahkan. Tangannya sibuk melilitkan kain berwarna ungu tadi ke bagian dada di balik bajunya. Aku pun lalu membantu merapikan dan memakaikan jubah hitam kami pada anak itu.

“Ayo cepat,” Ohkura memberikan kode kepadaku dan Yasu agar kami segera mengikutinya ke luar ruangan. Dengan penuh kehati-hatian ia kemudian memandu kami menyelinap melewati gerbang belakang. Beberapa anak buah Commander Murakami sempat memberikan petunjuk kepada kami hingga kami benar-benar telah keluar dari wilayah benteng.

Tanpa mempedulikan seberapa gelap suasana dan lebatnya semak belukar yang tersebar di area sekitar benteng, kami bertiga terus bergerak menerobos melalui jalan pintas. Karena tidak ingin ketahuan oleh pasukan Okto, kami dengan terpaksa harus mendaki tanah yang terjal untuk mencapai jalan setapak di perbukitan.

“Kau lihat kerlip cahaya itu?” tanya Ohkura ketika kami sampai di sebuah bukit batu yang lumayan tinggi. Jarinya menunjuk ke kejauhan dan aku bisa melihat apa yang ia tunjuk dengan jelas.

“Itu pasukan Okto, mereka sudah bergerak,” gumamku agak sedikit bergidik ngeri. Sebagai prajurit muda, aku memang belum pernah berada di situasi perang sebelumnya. Meski tidak terlibat dan pertempuran ini belum dimulai, tapi hanya dengan melihat cahaya obor dari para prajurit itu saja sudah membuat hatiku gentar. Aku masih tidak menyangka bahwa Commander Murakami bisa dengan begitu tenangnya menghadapi hal ini.

“Berjalan secara terang-terangan seperti itu… mereka benar-benar ingin mengecoh,” ucap Yasu mengamati. Aku dan Ohkura mengangguk.

“Dulu… aku selalu berkeinginan untuk mengenakan baju perang Okto dan ikut dalam pertempuran, tapi tak kusangka sekarang aku malah justru memakai lambang Yoto di dadaku,” lanjut Yasu lagi sambil memegangi bagian tubuhnya yang masih diperban tersebut. Sudah sembilan hari sejak kami diselamatkan dari hutan, sebagian besar luka-luka Yasu memang sudah membaik, namun ia masih tetap harus menggunakan perban tebal untuk menyangga tulang bagian dadanya. Aku sudah menduga sejak awal bahwa tubuhnya pasti remuk.

Ohkura pun meraih tangan Yasu dan menggandengnya pergi dari tempat kami berdiri.

“Ayo Maru, kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ucapnya seraya mengingatkanku. Kubiarkan keduanya berjalan di depan sementara aku masih sesekali memandangi kilau cahaya merah di kejauhan sana. Entah apa yang akan terjadi setelah kami meninggalkan wilayah ini, mungkin saja kami tidak akan pernah kembali lagi.

“Berapa jauh jarak dari benteng ke kota terdekat?” tanyaku seraya mempercepat langkah. Tak mau tertinggal jauh di belakang mereka.

“Dekat, sekitar empat jam perjalanan,” jawab Yasu sambil memakai tudung kepalanya. Pancaran sinar dari lentera yang dibawa Ohkura tidak cukup kuat untuk menerangi sekeliling sehingga aku harus berlari ke sebelah Yasu untuk memastikan bahwa anak itu tidak hilang di kegelapan.

Aku bersyukur bahwa wilayah Yoto tidak terlalu padat dengan hutan, kecuali di perbatasan, sebab resiko kami tersesat akan lebih kecil tanpa itu. Meski sebenarnya akupun tak terlalu menyukai bukit berbatu, tapi setidaknya ini lebih baik karena tidak ada anjing hutan yang mengancam nyawa kami. Percayalah, kebanyakan prajurit mati oleh keganasan alam daripada mati terbunuh di medan perang. Meski tentu saja keduanya bukanlah hal yang kuinginkan.

Sambil berjalan di kegelapan malam, kami bertiga terus berdiskusi soal konflik Jia. Masih saja diherankan dengan orang-orang yang punya ambisi besar terhadap kekuasaan. Juga yang tidak punya hati sampai tega membantai ribuan nyawa manusia hanya untuk membuktikan kekuatan mereka. Kalau Yasu bilang, orang-orang itu sedang mengalami gangguan jiwa namun tidak menyadarinya. Ketika mencintai sesuatu secara berlebihan, mereka tidak lagi peduli pada hal lain kecuali apa yang dicintainya itu. Dan pada level yang sudah sangat akut, mungkin hanya kematianlah yang bisa memisahkan antara mereka dengan obsesi itu. Bagian yang paling mengerikannya lagi adalah, terkadang obsesi tersebut bertingkah seperti parasit, dimana ketika jasad yang ditumpanginya sudah mati, maka ia akan berpindah kepada jasad yang baru. Demikian terus menerus hingga generasi mereka hancur.

Aku tak terlalu paham penjelasan Yasu karena ia suka menggunakan perumpamaan yang sulit, tapi aku tetap masih bisa menangkap garis besarnya. Jika memang benar demikian, mungkin sekarang ini akupun sedang mengalami gejala gangguan jiwa, sebab aku sering merasa tidak peduli pada hal lain selain apa yang menjadi obsesiku.

“Berhenti,” Ohkura menghalangiku dan Yasu dengan tangannya. Setelah lama berjalan dalam ketenangan, tiba-tiba saja kini anak itu merasakan sesuatu.

“Ada apa?” tanyaku kemudian. Kuarahkan pandanganku ke sekeliling, mencoba mencaritahu apa yang baru saja Ohkura rasakan. Kuharap bukan sesuatu yang membahayakan nyawa kami.

“Ada orang,” jawab anak itu seraya menyipitkan mata. Sebelah tangannya yang kosong sudah bersiap di pegangan pedang, membuatku sedikit berdebar.

“Siapa? Di mana?” tanya Yasu memastikan. Ia tahu betul bahwa Ohkura sering salah mengira hewan liar sebagai manusia. Memang tidak ada pepohonan di sepanjang jalan yang kami lewati, tapi bukit berbatu inipun merupakan wilayah terbuka, sehingga binatang apa saja bisa muncul di sini.

“Aku mendengar suara kuda, dari jalan di depan kita,” jawab Ohkura menunjuk dengan lentera yang dipegangnya.

“Haruskah kita sembunyi?” tanyaku merapat ke dua orang lainnya. Sadar betul bahwa pertanyaan barusan tidaklah berguna karena memang tidak ada tempat yang mumpuni untuk itu. Tumpukkan bebatuan di sekitar sangat berbahaya jika dijadikan tempat persembunyian. Bisa-bisa kami bertiga malah tergelincir atau tewas tertimpa batu-batu.

“Tenanglah, tidak ada satupun yang tahu tentang kita kecuali Commander Murakami dan orang-orangnya,” ucap Yasu memegang tangan Ohkura, memberikan sinyal kepada lelaki itu untuk melepaskan genggamannya dari gagang pedang. Membuat pose yang mengancam justru tidak membantu dan akan menimbulkan kecurigaan. Ohkura pun mengangguk mengerti.

Sambil berjalan perlahan, kami lalu membiarkan dua orang penunggang kuda yang dimaksud bergerak mendekat.

“Hey, kalian!” salah satu dari mereka meneriaki kami. Padahal kupikir jarak di antara kami hanya beberapa langkah saja sehingga tak perlu memanggil dengan suara sekeras itu.

“Apa kalian akan pergi ke Kaosa?” tanya pria paruh baya tersebut seraya menghalangi kami dengan kudanya. Bisa kucium bau hangus dari tubuh mereka namun aku juga tak terlalu yakin dengan hal itu. Di atas punggung kuda mereka terlihat banyak karung-karung yang sepertinya berisi pakaian dan peralatan.

“Apakah itu kota terdekat dari sini? Benar, kami akan ke sana,” dengan ramah Yasu menanggapi pertanyaan dari pria itu. “Apakah tuan-tuan berdua penduduk Kaosa?” tanya anak itu kemudian. Aku tidak tahu bagaimana formula interaksi yang ada di kepala orang-orang baik. Melemparkan pertanyaan basa-basi kepada lawan bicara dengan tujuan untuk mengakrabkan diri. Meskipun sebenarnya ia tidak membutuhkan jawaban itu, ia tetap saja menanyakannya.

“Tidak nak. Tidak ada satupun penduduk Kaosa yang selamat dari pembantaian,” ucap pria yang lain dengan wajah sedih. “Sebaiknya kalian pergi sebelum pasukan Okto sampai ke wilayah ini,” tambahnya lagi. Aku, Yasu, dan Ohkura saling melempar pandang.

“Tunggu dulu, apa maksud tuan dengan pembantaian?” Yasu terlihat tegang di posisinya berdiri. Aku segera merasakan pertanda tidak baik dari informasi baru ini. Beberapa waktu lalu kami baru saja melihat rombongan pasukan Okto bergerak menuju benteng. Dan sekarang mereka ada di Kaosa? Yang benar saja.

“Kami hanya pedagang keliling, sehingga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucap pria itu sambil sesekali terbatuk. ”Belum sempat kami masuk ke Kaosa, kami sudah keburu dihadang oleh prajurit raja. Katanya kami harus menjauh dari sana karena pasukan Okto sedang menyerang wilayah itu,” lanjutnya lagi. Aku memegangi bahu Yasu agar anak itu tidak membenturkan dirinya ke kuda yang tiba-tiba saja meringik keras. Sepertinya hewan itu tengah merasakan sesuatu yang membuatnya resah.

“Tidak mungkin. Pasukan Okto saat ini sedang menyerang benteng dan ibukota, bagaimana mungkin mereka ada di Kaosa?” Ohkura menggoyang bahu Yasu dengan ekspresi heran. Aku pun ingin menanyakan hal yang sama. Mungkinkah data perang yang diberikan General Yokoyama tidak akurat?

“Tuan, bisakah kau ceritakan lebih detail lagi?!” Yasu dengan berani memegangi kepala kuda untuk menghalangi kedua pria tersebut beranjak pergi. Aku tahu anak itu mudah akrab dengan binatang, tapi melihat langsung si kuda menjadi tenang setelah ia mengelus kepalanya benar-benar hal yang menakjubkan bagiku.

“Aku tidak tahu apa-apa nak, aku hanya sempat melihat orang-orang berpakaian kuning sedang bertarung dengan para prajurit. Aku tidak pernah melihat pasukan Okto sebelumnya, tapi kurasa itu mereka,” pria itu berusaha menjelaskan. Tiba-tiba Ohkura mencengkram bahuku sebagai ekspresi dari keterkejutannya.

“Okto mengirim pasukan elit,” gumamnya sambil melihat ke arahku dengan mata horor. Apa yang diucapkan anak itu segera mengingatkanku pada struktur keprajuritan di istana.

Ada pembagian kasta di dalam sistem keprajuritan Okto yang disesuaikan dengan level kekuatan masing-masing prajurit. Jika diurut dari atas, maka tatanannya adalah general, commander, pasukan elit, prajurit perang, prajurit penjaga, dan trainee. Aku, Yasu, dan Ohkura adalah trainee yang baru saja naik level menjadi prajurit penjaga, dan kami bertiga tahu bahwa prajurit-prajurit elit punya keahlian bertempur yang tidak biasa. Orang-orang itu dikirim untuk menjalankan misi-misi berat seperti menyusup ke istana musuh atau eksekusi tertutup. Dan semua prajurit tahu warna seragam perang mereka. Kuning.

“Apapun yang hendak kalian lakukan di Kaosa, sebaiknya urungkan niat kalian,” ucap salah satu dari pria itu sambil menarik tali kudanya. Kedua orang tersebut hendak pergi meninggalkan kami ketika Yasu menahan mereka.

“Tuan, kami akan pergi ke Saikan, apakah ada jalan lain ke sana selain melalui Kaosa?” tanya anak itu berharap. Akupun sempat berpikir untuk menanyakan rute alternatif menuju Saikan. Jika memang bisa menghindari kerusuhan, sebisa mungkin aku ingin menghindarinya. Bayangkan jika kami harus bertemu dengan pasukan Okto dan mereka mengenali wajah kami. Dengan membawa lambang Yoto, itu sama saja artinya  kami bunuh diri.

“Saikan? Kurasa tidak ada,” jawab pria itu mengerutkan dahi. “Lagipula, Kaosa dan Saikan hanya berjarak satu kota saja. Dalam beberapa waktu kedepan Saikan juga pasti akan jadi target pembantaian,” lanjutnya lagi. Ia lalu menghela napas dengan berat. “Kehancuran negeri ini sudah datang, nak. Penduduk seperti kita sebaiknya segera mencari tempat berlindung yang aman,” ucapnya sedih. Kami bertiga hanya terdiam saja, tidak tahu harus merespon seperti apa.

“Mungkin kalian ingin ikut ke ibukota bersama kami?” tanya salah satu dari mereka. Ohkura segera menggeleng.

“Di ibukota juga sedang terjadi peperangan saat ini, sebaiknya tuan-tuan jangan ke sana,” ucap Ohkura memberitahu. “Kami bertiga baru saja melarikan diri dari tempat itu,” lanjut lelaki itu bohong sebelum para pria sempat bertanya darimana ia mengetahui hal tersebut.

Kedua orang itu lalu saling melempar pandang dan kembali menghela napas. “Kurasa…. tak ada tempat lagi selain istana. Semoga kita tidak mati dalam perjalanan menuju ke sana,” ucap salah satu dari mereka. “Kalian sebaiknya juga ke istana. Raja Ohno satu-satunya harapan bagi kita untuk berlindung… itupun kalau ia masih peduli dengan rakyatnya,” lanjut yang seorang lagi. Membuatku seketika merasa merinding di bagian leher. Entah karena mereka menyuruh kami untuk masuk ke kandang macan, atau karena mendengar ucapan seorang penduduk yang sedang meragukan rajanya.

“Maaf, tapi kami punya urusan penting di Saikan,” ucap Yasu menolak. Aku dan Ohkura mengangguk bersamaan.

“Hmmm…. aku lihat kalian membawa pedang. Apakah kalian seorang prajurit?” tanya salah satu pria seraya mengamati pedang-pedang yang bertengger di pinggang kami. Merasa kaget, akupun buru-buru menyembunyikannya di balik jubah hitamku. Pria itu lalu tersenyum. “Anak muda, berjuanglah. Kami rakyat biasa tidak punya pilihan selain melarikan diri untuk bertahan hidup… tapi kalian akan selalu punya kekuatan untuk memilih,” ucapnya sambil melangkah pergi. “Jangan pernah ragu untuk memilih jalan yang benar. Walaupun seisi dunia menentang kalian,” lanjut pria lainnya sebelum kemudian berjalan menyusul. Kedua orang itupun segera menghilang di balik kegelapan.

Yasu tertegun. Begitu juga aku.

“Sekarang apa rencana kita?” tanya Ohkura mengarahkan lenteranya kepada kami berdua. “Haruskah kita mencari rute lain?” lanjut anak itu lagi. Yasu menggeleng.

“Aku tidak menyangka mereka ada di Kaosa. Penyerangan itu sama sekali tidak tertulis di data perang,” ia mengepalkan tangannya dengan kesal. “Raja Kitayama melakukan penyerangan tertutup, seharusnya aku tahu itu…” ujar anak tersebut seraya mengusap wajahnya sendiri. Sebagai orang yang mengantarkan informasi, aku tahu ia pasti merasa bersalah. Tapi kupikir sejak awal peperangan ini memang bukan tanggung jawab kami, karena tugas kami hanyalah menyampaikan data saja.

“Yasu, tidak ada satupun yang tahu rencana ini kecuali Raja Kitayama, bahkan mungkin tidak dengan General Yokoyama sekalipun,” Ohkura menepuk pundak Yasu untuk menguatkan anak itu. “Aku tahu kau merasa sedih dengan para penduduk, tapi tidak ada yang bisa memprediksi penyerangan ini,” ucapnya lagi sambil menggenggam tangan Yasu agar orang yang bersangkutan berhenti mengusap-usap wajahnya sendiri.

Yasu menggeleng.

“Kita memang tidak punya jalan lain selain melanjutkan ke Kaosa… tapi rasanya aku belum siap untuk melihat semua kekacauan di sana,” ia tertunduk dan aku bisa melihat ekspresi frustrasi di wajahnya. Aku baru saja akan memeluk anak itu ketika Ohkura sudah lebih dulu melakukannya.

“Tidak ada dari kita yang siap,” ucap lelaki itu sambil melihat ke arahku. Aku tidak bisa melakukan apapun selain mengangguk.

“Kau yakin mereka tidak akan mengenali kita?” tanyaku agak sedikit ragu. “Lambang ini sudah menandakan bahwa kita penghianat Okto,” ucapku seraya menunjukkan kain ungu yang melilit di lengan kiriku. Tidak ada yang lupa bahwa alasan kami bertiga masih hidup sampai saat ini dan bisa berkeliaran di Yoto adalah karena kami pembelot. Lebih tepatnya, posisi kami netral, sebab kami belum memutuskan kepada siapa kami akan berpihak.

Yasu mendorong Ohkura pelan.

“Satu-satunya jalan menuju Saikan adalah melalui Kaosa, dan untuk melewatinya hanya ada dua cara,” ucap anak itu melihat ke arahku dan Ohkura bergantian. “Melawan mereka…. atau berteman dengan mereka,” lanjutnya kemudian. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk mencerna dua hal tersebut.

“Maksudmu… kita seperti… bermain peran?” tanyaku memastikan. Aku bahkan tidak tahu apa yang baru saja kukatakan. Kulihat Ohkura mengangkat sebelah alisnya seraya menatapku bingung ketika Yasu mengangguk mengiyakan.

“Tunjukkan lambang Yoto ini pada pasukan Raja Ohno, maka kita akan bergabung bersama mereka untuk melawan para pembantai. Atau biarkan para pembantai mengenali kita sebagai prajurit Okto lalu kita menyelinap pergi,” ucap anak itu menjelaskan rencananya. Aku dan Ohkura ber-“Aaaaaah” sebagai tanda mengerti. Ide yang brilian, pikirku.

“Menurutmu resiko mana yang lebih kecil?” tanya Ohkura pada Yasu. “Kurasa dua rencana ini punya kemungkinan gagal yang sama besar,” lanjutnya lagi. Aku pun mengulum bibirku sambil berpikir.

“Mana yang lebih mudah? Berakting atau berkelahi?” tanyaku pada Ohkura. Membuatnya terdiam sejenak sebelum kemudian menjawab “Berkelahi…?” sambil tersenyum. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata datar. Ingin sekali kujelaskan panjang lebar padanya bahwa cara persuasif lebih aman dibanding dengan menggunakan otot. Namun untuk Ohkura yang punya kepercayaan diri tinggi akan kemampuan bertempurnya, kurasa itu hanya akan membuang waktu saja.

“Lawan kita pasukan elit, kau ingat?” ucapku berkacak pinggang. Aku benar-benar tidak mau mengambil pilihan yang mengancam nyawa kami. Meskipun resiko terbunuh akan selalu ada di setiap jalan yang kami ambil, tapi jika bisa menghindari perkelahian, mengapa tidak?

Yasu membenarkan posisi pedangnya.

“Kita tidak akan tahu sebelum kita melihat situasi di sana dengan mata kepala sendiri. Sebaiknya kita bergegas pergi,” ucap anak itu seraya meraih lentera dari tangan Ohkura. Ia lalu berganti memandu kami melanjutkan perjalanan ke Kaosa. Mengingat jarak dari benteng ke kota itu tersebut cukup dekat, kurasa tidak butuh waktu lama untuk kami segera tiba di wilayah tersebut.

Dari jarak jauh, bahkan cukup jauh dari gerbang masuk Kaosa, kami bertiga sudah dapat melihat betapa mengerikannya kekacauan yang terjadi di sana. Asap dari api yang membakar rumah penduduk membumbung tinggi ke angkasa, dan tubuh-tubuh prajurit yang telah tewas bergelimpangan di mana-mana. Kami tahu kami tidak bisa begitu saja masuk ke lokasi sehingga kami pun bersembunyi di balik semak belukar. Beruntung saat itu adalah malam hari dan ada jubah hitam yang membantu menyamarkan keberadaan kami.

“Lihat kumpulan prajurit berpakaian besi itu?” Ohkura menunjuk ke kejauhan di mana segerombolan orang tengah membentuk barisan pertahanan. “Itu pasukan Yoto,” ucapnya memberi tahu. “Dan ninja berpakaian kuning itu adalah pasukan elit Okto,” kata anak itu lagi seraya menunjuk ke beberapa orang yang berdiri di depan gerbang.

“Nampaknya mereka masih sama-sama dalam posisi bertahan, haruskah kita mencoba masuk sekarang?” tanya Yasu menengok ke arahku.

“Sebagai?” aku balik bertanya padanya.

“Jumlah pasukan Yoto tidak terlalu banyak, mungkin saat ini sebagian besar dari mereka ada di ibukota. Kita tidak tahu kapan bantuan dari istana akan datang kemari, jadi kupikir sebaiknya kita masuk ke Kaosa sebagai prajurit Okto,” jelasnya sambil terus mengamati pergerakan orang-orang di sana. Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja dadaku berdegup kencang.

“Sekali kita masuk sebagai prajurit Okto, maka seluruh pasukan Yoto yang ada di sana akan menjadi musuh kita,” ucap Ohkura mengingatkan. Seluruh wilayah Kaosa memang dilindungi tembok tinggi yang mustahil untuk kami lompati, sehingga satu-satunya jalan untuk masuk hanyalah melalui gerbang depan. Dan itu artinya seluruh pasukan Yoto yang ada di sana pun akan melihat kami.

“Sebelum pasukan Yoto bergerak, kita sudah harus kabur dari tempat ini,” ucap Yasu mengangguk. Anak itu tahu aku merasa tegang sehingga ia pun menepuk lenganku pelan. “Kau masih ingat sumpah prajurit Okto?” tanyanya padaku. Aku segera menggenggam tangan Yasu dengan gugup. Ya, tentu saja aku ingat. Tapi aku tak yakin bisa mengucapkannya dengan benar dalam kondisi tertekan.

“Tenanglah, kita akan baik-baik saja,” Yasu meyakinkanku. “Kita tetap bisa lari jika terjadi sesuatu yang gawat,” lanjutnya lagi. Aku tidak tahu darimana ia mendapat seluruh kepercayaan diri dan keteguhan hati tersebut. Tapi aku bersyukur karena hal itu cepat menular dan dapat mengurangi ketakutanku walau hanya sedikit.

“Ayo pergi,” Ohkura melilitkan kain ungu yang diberikan oleh Commander Murakami ke bagian perut di balik bajunya sebelum lalu memakai tudung kepala. Akupun segera mengikuti apa yang ia lakukan. Tentu saja kami bertiga tidak mau ketahuan membawa lambang Yoto setelah mengaku sebagai prajurit Okto.

Setelah mempersiapkan diri, kami akhirnya bersama-sama keluar dari tempat persembunyian. Mata para prajurit Yoto yang terus memperhatikan saat kami berjalan menuju gerbang membuatku merasa gugup. Suasana perang di malam hari ternyata lebih menyeramkan dari yang pernah kupikirkan sebelumnya. Panas dari api yang membakar rumah-rumah penduduk terasa sampai ke luar dinding Kaosa, dan darah dari para prajurit mati yang berceceran di tanah terlihat sangat horor. Membuatku agak sedikit mual.

“Berhenti!” teriak salah seorang prajurit penjaga gerbang saat kami mendekat. Bisa kulihat prajurit-prajurit lain yang berdiri di atas dinding segera mengarahkan crossbow mereka ke arah kami bertiga. Aku belum pernah bertemu dengan orang-orang dari pasukan elit sebelumnya, sehingga melihat mereka dari dekat dengan seragam kuningnya benar-benar membuatku berdebar. Merasa terintimidasi oleh orang yang levelnya lebih tinggi dari kita memang bukanlah hal yang aneh.

“Kaosa ada di bawah kekuasaan Okto!” ucap penjaga yang lain seraya mengacungkan senjatanya kepada kami. Yasu membuka tudung kepalanya sambil lalu melakukan gerakan penghormatan khas prajurit Okto. Aku dan Ohkura mengikutinya.

“Kami prajurit perang yang diutus oleh General Yokoyama untuk menyusup ke Saikan, mohon diberi ijin untuk lewat,” ucap Yasu tak gentar meskipun jarak antara lehernya dan mata pedang penjaga tidak terlalu jauh. Dengan penghormatan dan juga menyebutkan nama general pengutus seharusnya sudah bisa membuat mereka percaya. Tapi aku paham bahwa ini adalah wilayah musuh dan mereka wajib waspada.

“Mana surat tugas kalian?” tanya penjaga itu seraya menurunkan pedang. Sementara orang yang lain menginspeksi kami dari sudut matanya yang tajam.

“Ini… misi darurat, tidak ada surat tugas yang kami terima,” ucap Yasu dengan suara agak sedikit bergetar. Aku tahu ia suka merasa gugup jika sedang berbohong, karena itulah aku pun buru-buru menambahkan.

“Kami bertiga prajurit dari pasukan yang menyerang ibukota, mendapat perintah langsung dari General Yokoyama beberapa jam lalu untuk mengumpulkan informasi di wilayah Saikan,” ucapku memberitahu. Salah satu dari mereka mengrenyitkan dahi.

“Berdasar perintah Raja Kitayama, Saikan adalah target penghancuran kami selanjutnya. Untuk apa General Yokoyama mengutus kalian ke sana? Tidak mungkin istana mengirim dua tim dengan level yang berbeda untuk misi yang sama,” aku merasa ada unsur merendahkan di dalam kata-katanya, namun itu tidak terlalu menyudutkanku.

“Kau dengar kata-kataku? Kami dikirim bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mencari informasi, sebab nantinya General Yokoyama sendirilah yang akan membumihanguskan Saikan,” kataku bohong. “Dan kalian bekerja langsung di bawah perintah Raja? Pantas saja tidak ada satupun dari para general yang tahu tentang pembantaian di wilayah ini. Kami bertiga pun sangat kaget ketika melihat Kaosa sudah ditaklukan. Dengar….. kalian sama sekali tidak punya alasan untuk curiga pada kami atau para general, sebab kami hanya menjalankan tugas sesuai strategi perang,” lanjutku lagi sebelum mereka sempat memberondongku dengan berbagai pertanyaan lain. Entah darimana datangnya rasa percaya diri ini, tiba-tiba saja aku menjadi sangat pandai beralasan.

Kedua orang penjaga itupun saling berpandangan sebelum kemudian mengangguk bersamaan.

“Masuklah,” ucap mereka akhirnya. Membuatku harus menahan senyum dengan sekuat tenaga. Dasar lemah, pikirku. Aku tidak tahu ternyata mereka mudah sekali dibohongi dengan sedikit kata-kata. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh guru kami di barak, bahwa kekuatan paling besar dari seorang manusia adalah akalnya, dan bukan soal fisik semata.

Yasu dan Ohkura melirik ke arahku dalam diam. Tanpa bisa berkata apapun aku hanya menaik-turunkan kedua alisku. Semoga saja tidak ada yang melihatku melakukannya.

“Siapa mereka?” tanya seorang pria ketika kami baru saja melewati pintu gerbang. Aku langsung mengenali siapa sosok itu. Semua prajurit trainee di istana mengenalnya. Ia adalah Tsukada, pemimpin pasukan elit.

“Utusan General Yokoyama, mereka akan ke Saikan,” jawab salah satu penjaga memberitahu. Senyuman tersungging di wajah Tsukada ketika mendengar hal itu. Namun aku merasa bahwa itu bukanlah jenis senyuman yang menghangatkan hati. Justru lebih seperti sebuah seringaian.

Aku, Yasu, dan Ohkura segera memberi hormat kepadanya.

“Wah, wah, wah, para prajurit berprestasi rupanya,” ucap Tsukada meletakkan tangannya di pundak Ohkura. Selama ini pria tersebut memang suka berkeliaran di barak pelatihan untuk mengecek perkembangan para trainee, maka tak heran jika ia mengenal Ohkura, sebab anak itu pun salah satu dari yang namanya sering disebut sebagai prajurit jenius.  Tapi meskipun Tsukada menggunakan kata ‘para’, aku tidak begitu yakin kalau ia juga mengenaliku dan Yasu.

“Kalian akan ke Saikan?” tanyanya memastikan. “Pasukanku akan menyerang Saikan beberapa hari lagi, kurasa kalian harus kembali pada General Yokoyama dan menyampaikan padanya untuk tidak ikut campur,” ucapnya sambil masih tersenyum. Aku sama sekali tidak merasa nyaman dengan ekspresi wajahnya yang seperti itu. Dari sudut mataku nampak bara api masih melahap rumah-rumah, juga beberapa mayat penduduk yang dibiarkan begitu saja tergeletak di tanah. Untuknya bisa memasang wajah gembira di situasi seperti ini, dia pasti sudah gila.

“Tidak, tentu saja kami tidak mau ikut campur,” Ohkura berganti mewakili kami untuk memberikan penjelasan. “Tapi kami bertiga hanya bergerak atas perintah General Yokoyama, jadi kau tidak bisa menyuruh kami kembali begitu saja sebelum kami menyelesaikan tugas. Perkara General Yokoyama akan mengirim pasukan ke Saikan atau tidak, itu adalah keputusan beliau,” anak itu menepis pelan tangan Tsukada dari pundaknya. Kurasa Ohkura juga tidak terlalu suka dengan sikap pria tersebut.

Tsukada semakin tersenyum lebar.

“Kalian benar-benar anak baik. Anak baiiiiiik…” lelaki itu mengusap satu persatu kepala kami dengan riang seolah-olah kami bertiga adalah anak kecil. Sepertinya ia tidak tahu bahwa manusia berusia dua puluh tahun sudah bisa membedakan mana perlakuan yang wajar dan yang bermaksud merendahkan. Aura yang menguar dari pria tersebut sama sekali tidak membuatku hormat, tapi malah justru membuatku merasa mual.

Di antara seluruh anggota pasukan elit, Tsukada memang terkenal sebagai yang paling kuat. Dan juga sadis. Sikapnya yang selalu riang dimanapun ia berada, di dalam situasi apapun, membuat hampir semua orang merasa heran akan kepribadian pria tersebut. Ia tidak pernah memberi ampun pada siapapun yang mencoba untuk mengusik kesenangannya. Kudengar dari seorang prajurit perang yang pernah ikut dalam misi di bawah pimpinan Tsukada, pria itu sangat kejam saat melakukan eksekusi terhadap musuh. Penyiksaan dan mutilasi adalah sesuatu yang lumrah baginya. Selain raja dan para general, tidak ada yang bisa memerintah Tsukada. Bahkan posisinya sebagai pemimpin pasukan elit sering disamakan dengan posisi seorang commander.

“Aku tidak akan menghalangi kalian kalau begitu,” ucap Tsukada kembali menepuk-nepuk bahu Ohkura pelan. “Tapi, kuperingatkan pada kalian,” lanjutnya lagi sambil kali ini berganti ke Yasu. Tangan pria itu tiba-tiba saja mencengkram wajah yang bersangkutan dengan sebelah tangannya. Membuat Yasu terlonjak di tempatnya berdiri. “Saikan lebih kejam dari apa yang kalian pikirkan. Prajurit kelas teri seperti kalian bisa mati dalam hitungan detik, fufufufu~” tawa kecil terdengar jelas di ujung kalimatnya. Gaya bicara dan tatapan merendahkan yang selalu diberikan oleh pria itu benar-benar membuatku resah. Tapi kami tidak bisa melakukan apapun karena ini adalah bagian dari rencana meloloskan diri.

“Se-seberapa kejam Saikan?” Yasu bertanya di antara usahanya memegangi tangan Tsukada agar tidak mencengkram terlalu keras. Pasti itu sakit, pikirku. Urat-urat di tangan Tsukada sampai terlihat saking kuatnya ia memegang wajah Yasu. Aku tidak tahu apa salah anak itu sehingga diperlakukan demikian. Tapi bila mengingat kepribadian gila pria tersebut, rasanya aku bisa paham kenapa ia melakukan hal itu hanya untuk kesenangannya. Dan aku kagum Yasu bisa bersikap cukup tenang menghadapi ini.

“Hahahahahaha,” Tsukada pun tertawa keras. “Biasanya aku tidak menceritakan luka lama ini pada orang lain, tapi karena kalian akan segera mati, kurasa tidak apa-apa,” ucapnya seraya melepaskan wajah Yasu dengan kasar. Kudengar suarah rintihan dari anak itu ketika ia memegangi kedua pipinya yang sakit. Kalau saja bukan demi keselamatan kami, aku yakin Ohkura pasti sudah menghajar Tsukada saat ini. Untukku yang tidak seberani itu melawan pasukan elit, setidaknya aku ingin kami bertiga segera pergi menjauh dari pria gila tersebut.

Tsukada memperlihatkan lengan kanannya kepada kami. Ada bekas jahitan besar di sana.

“Dalam misi eksekusi ke Saikan musim dingin lalu, seseorang mengalahkanku dan meninggalkan luka ini,” katanya dengan ekspresi yang mendramatisir. “Selama ini tidak ada musuh yang bisa lolos dari eksekusi kecuali orang itu. Tsuyoshi. Dia dilindungi oleh orang-orang Saikan,” lanjutnya lagi. “Wilayah itu bekas kekuasaan General Koichi, semua penduduknya adalah prajurit Jia. Begitu mereka tahu kalian adalah suruhan Okto, mereka tidak akan membiarkan kalian keluar hidup-hidup,” Tsukada kembali mendekati Yasu dan mengangkat dagu anak itu ke arahnya. “Kalau tidak ingin mati… sebaiknya batalkan misi ini,” ucapnya tersenyum sambil lalu tertawa kecil. Ohkura langsung menggenggam pergelangan tangan pria itu dengan kencang.

“Perintah General adalah sebuah tanggung jawab yang lebih besar daripada sekedar takut mati,” ucap anak itu seraya mendorong Yasu ke belakang agar terlepas dari Tsukada. Matanya menatap lurus pria gila di sana tanpa ada rasa takut sedikitpun.

“Whoaaa,” Tsukada membelalakkan matanya seolah tengah memasang ekspresi terkejut. Tapi senyuman tetap juga tak hilang dari wajahnya, justru semakin lebar malah. Meskipun aku tahu sebenarnya ia bisa melepaskan diri dari Ohkura dengan mudah, namun pria itu sengaja membiarkan lelaki yang lebih muda untuk mendominasi. Matanya melirik ke arah Yasu dan Ohkura bergantian.

“Hmmm, aku apresiasi keberanian kalian,” ucapnya kemudian. Pria itu hendak kembali mendekati Yasu namun aku segera menghalanginya dengan tubuhku. Aku tidak tahu apa yang sedang ia coba lakukan, tapi sikapnya membuatku kesal.

Tsukada menatapku sambil tertawa kecil.

“Aku harap kalian belum jadi mayat saat pasukan elit masuk ke Saikan nanti,” ucapnya sambil lalu tiba-tiba mendorongku dengan tangannya yang bebas. Saking kuatnya tenaga pria itu, aku pun menabrak Yasu yang ada di belakang hingga kami berdua jatuh ke tanah. Ohkura yang kaget menjadi lengah dan dengan mudah Tsukada melepaskan diri dari pegangannya.

“Kalau kalian bisa kembali ke istana hidup-hidup, aku akan minta General Yokoyama untuk memindahkan kalian ke dalam pasukanku,” katanya lagi sambil tersenyum riang. Tidak mempedulikan bagaimana kesalnya perasaan kami setelah dihina dan diremehkan berkali-kali. Aku paham bahwa ia punya kekuatan, tapi kepribadiannya adalah sesuatu yang lain lagi. Entah apa yang menjadikannya lama bertahan menjabat sebagai pasukan elit, bahkan ada di posisi pemimpin. Kalau bukan karena orang-orang takut padanya, aku tidak tahu lagi.

“Antarkan mereka ke luar Kaosa,” Tsukada memberi perintah kepada salah satu anak buahnya yang berdiri tak jauh dari kami. Aku dan Yasu buru-buru bangkit untuk memberi penghormatan terakhir. Sebenarnya aku enggan melakukannya, namun Yasu tidak terlalu peduli dengan semua hinaan tadi sehingga ia tetap bersikap sopan. Kulihat Ohkura pun ikut memberi hormat, meski aku tahu ia merasa terpaksa.

“Terima kasih,” ucap Yasu pada Tsukada sambil kemudian beranjak pergi. Aku dan Ohkura tidak mengatakan apapun dan segera mengikutinya.

Kami benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya Tsukada menawari kami untuk masuk ke dalam timnya setelah mengata-ngatai kami seperti ikan teri. Kalaupun kami selamat dan bisa kembali ke istana, tawaran itu pastilah harus dipikirkan sejuta kali. Maksudku, walaupun menjadi seorang prajurit elit adalah sebuah pencapaian dan prestasi luar biasa, tapi jika harus bekerja bersama orang seperti Tsukada, aku lebih baik jadi prajurit biasa selamanya. Dan itupun juga kalau kami memilih untuk kembali ke Okto. Jika ternyata dokumen Jia itu benar valid, tentu saja kembali ke istana bukan lagi sebuah pilihan.

Sambil terus menahan rasa kesal di dalam dada, dengan dipandu oleh seorang anggota prajurit elit, kami bertiga lalu berjalan melewati rumah-rumah yang masih terbakar dan juga puing-puing bekas kehancuran. Bisa terlihat sejumlah mayat tergeletak di sekitar jalanan dan ada juga yang ditumpuk asal di sudut-sudut kota. Pemandangan horor itu terlalu sadis sehingga Yasu terus saja menundukkan kepalanya. Sementara aku dan Ohkura memperhatikan sekeliling kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.

“Kalian benar-benar akan ke Saikan?” tanya prajurit pengantar ketika kami semua akhirnya tiba di gerbang Kaosa yang lain. Kulihat Yasu menghela napas dengan lega.

“Iya,” jawabku dan Ohkura berbarengan.

“Berhati-hatilah, Saikan punya pasukan yang bergerak terpisah dari kuasa Raja Ohno. Meskipun kau tidak melihat ada prajurit berjaga di sana, sesungguhnya tempat itu lebih berbahaya dari semua wilayah yang ada di Yoto,” ucapnya mengingatkan. “Aku tak bermaksud merendahkan, tapi apa yang dikatakan Tsukada benar. Kalau tidak hati-hati, kalian bisa mati dalam hitungan detik,” lanjut pria itu lagi. Sebagai sesama prajurit yang tergabung dalam pasukan elit, ia dan Tsukada seperti dua orang yang sangat bertolak belakang. Aku sama sekali tidak menangkap adanya unsur penghinaan dari kata-katanya tersebut. Dan justru sempat tersentuh karena ia telah berbaik hati mengingatkan kami.

“Kami akan berhati-hati,” ucap Yasu mengangguk. Kami bertiga pun tidak ingin terlalu lama membuang waktu dan segera melanjutkan perjalanan.

“Haruskah kita beristirahat sebentar di kota selanjutnya?” tanya Ohkura beberapa saat setelah kami meninggalkan gerbang. “Kita sudah berjalan lebih dari enam jam, dan Commander Murakami bilang jarak dari kota selanjutnya ke Saikan cukup jauh,” lanjutnya lagi sambil kembali menyalakan lentera. Aku tidak terlalu menggubris apa yang dikatakan Ohkura karena bulan di atas sana terlihat begitu besar dan mencuri perhatianku.

Tak kusadari malam sudah semakin larut. Seperti sebelum ini, jalan menuju kota berikutnya juga tidak banyak pepohonan dan hanya berhias bebatuan besar. Namun demikian, dapat kudengar suara burung-burung hantu bernyanyi, atau menangis, atau tertawa, atau apalah itu di beberapa pohon yang kami lewati. Dan entah mengapa itu membuatku merasa tenang. Setelah tadi pendengaranku dipenuhi dengan bunyi-bunyi api yang membara, suara alam yang hening terasa sangat mendamaikan. Di tambah lagi, bulan di atas sana benar-benar terlihat indah.

“Kita lihat situasinya nanti,” Yasu menjawab pertanyaan Ohkura sambil memegangi dadanya. Aku jadi teringat bahwa anak itu sedang tidak pada kondisi prima dan seharusnya belum bisa melakukan perjalanan jauh. Meskipun ia mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik saja, tapi tentu hal itu bukanlah yang sebenarnya.

“Dadamu masih sakit?” tanyaku seraya berjalan di sebelah Yasu. “Tsukada terlalu kuat aku sampai tidak bisa menahannya,” ucapku sedikit merasa bersalah karena telah membuat anak itu terjatuh. Yasu hanya ber-“un” saja sambil mengangguk. “Dia mencengkrammu…” kubuka tudung kepala dan kusisir rambut di pelipisnya dengan perlahan. Tak ada cahaya untuk benar-benar menerangi wajah Yasu sehingga aku tak yakin apakah hal itu berbekas di sana atau tidak.

“Tsukada membuatku kesal,” komentar Ohkura seraya menyorot Yasu dengan cahaya lentera untuk beberapa saat. Diperhatikannya wajah anak itu sambil lalu mendengus singkat. “Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran orang itu,” ucapnya lagi. Akupun menggunakan kesempatan tersebut untuk mengecek pipi Yasu, namun orang yang bersangkutan segera beralih.

“Aku tidak apa-apa,” Yasu tersenyum kecil dan buru-buru memakai tudungnya kembali. Ia lalu mendorongku dan Ohkura agar berhenti memperhatikannya. Aku tahu ini bukan momen yang tepat untuk merasa seperti ini, tapi aku benar-benar merasa gemas pada anak itu. Mungkin saja ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya, atau memang tidak begitu suka padaku dan Ohkura yang bersikap terlalu khawatir. Tapi apapun itu, ekspresi malunya terlihat lucu dimataku.

“Aku tidak bisa membayangkan jika kita bertiga menjadi anak buah Tsukada,” Ohkura memulai lagi.

“Jangan dibayangkan,” tukasku segera sebelum lelaki itu melanjutkan berbicara. Ia dan Yasu pun tertawa.

Perjalanan ini tiba-tiba saja menjadi berisik. Yasu pernah bilang padaku bahwa membicarakan keburukan orang lain bukanlah suatu kebiasaan yang baik. Aku setuju padanya, tapi hanya kali ini kami tidak bisa untuk tidak membicarakan Tsukada. Orang itu terlalu menyebalkan dan kami harus berkomentar supaya kami bisa merasa lega.

Dan percaya atau tidak, pembicaraan semacam ini ternyata membuat waktu terasa begitu cepat berlalu. Secepat kilat yang menyambar tanah, tiba-tiba saja kami bertiga sudah sampai di kota berikutnya. Bukan hanya karena jarak tempuhnya yang memang dekat, tapi juga karena pikiran kami yang terlalu sibuk dengan Tsukada dan orang-orangnya. Tentu saja aku merasa senang karena posisi kami semakin dekat dengan Saikan, tapi sejujurnya akupun benci saat menyadari bahwa kami tidak punya banyak waktu untuk bersantai.

“Woah, kenapa sepi sekali?” gumamku ketika kami bertiga berdiri di perbatasan masuk. Tentu saja tidak ada dari kami yang lupa bahwa ini sudah lewat tengah malam. Kemungkinan besar para penduduk telah terlelap sehingga tidak terlihat aktifitas apapun di kota. Suasana begitu hening hingga kami bertiga pun harus berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara yang mengganggu.

“Ini aneh….” ucap Ohkura mengarahkan lenteranya ke salah satu rumah yang sepertinya adalah sebuah penginapan. “Kukira tempat seperti ini buka sepanjang hari,” ungkapnya heran. Ia mencoba menginspeksi seraya mengintip melalui celah pintu, namun hanya kegelapan yang ia lihat di dalam sana.

“Kita selalu bisa beristirahat di manapun, tidak harus di penginapan,” ucapku mencoba mencari alternatif lain. Meskipun sebenarnya aku juga merasa ada yang ganjil dengan suasana di tempat ini. Dibanding dengan adanya kesan bahwa para penduduk sudah tertidur, wilayah ini justru terlihat lebih seperti kota yang sudah ditinggalkan. Kulihat dari kejauhan ada beberapa rumah yang terbuka pintunya namun tak ada tanda-tanda penghuni di dalam sana.

“Permisi,” ucap Yasu ketika kami bertiga mencoba melongok ke dalam salah satu rumah tersebut. Tidak ada seorangpun yang terlihat, namun kami mendapati barang-barang seperti perabotan, pakaian, dan lain-lain tertinggal dalam keadaan yang berantakan. Bahkan di beberapa rumah lainnya kami juga menemukan sup yang masih cukup hangat tumpah dari wadahnya. Sepertinya sesuatu telah terjadi beberapa saat sebelum kami tiba di kota ini.

“Mungkinkah mereka dievakuasi?” Ohkura memberikan spekulasinya. Aku mengangguk-angguk. Masuk akal, pikirku. Jarak antara Kaosa dan kota ini sangat dekat, sehingga tidak kecil kemungkinan para prajurit istana segera mengosongkan wilayah ini setelah mengetahui ada penyerangan di Kaosa.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” tanyaku pada dua orang lainnya. Kupikir rencana semula kami untuk beristirahat di tempat ini jadi sedikit berubah. Walaupun aku sama sekali tidak keberatan jika harus menetap sebentar.

“Kalau kalian lelah, kita bisa berhenti dulu sebelum melanjutkan,” ucap Yasu seraya melihat ke arahku dan Ohkura bergantian. Anak itu sama sekali tidak sadar bahwa dirinya terlihat lebih kelelahan dibanding kami berdua. Ohkura pun mendecak.

“Tentu saja. Kita masih punya banyak waktu sampai fajar,” lelaki itu mengarahkan lenteranya ke sekeliling untuk mencari tempat yang nyaman. Tidak mempedulikan gumaman, “Tapi aku pikir sebaiknya kita cepat bergerak ke Saikan,” yang dilontarkan oleh Yasu. Akupun menepuk-nepuk kepala anak itu sambil lalu menyusul Ohkura.

“Apakah tempat itu bisa dipakai?” tanya Ohkura padaku seraya menunjuk ke sebuah bangunan yang sepertinya adalah gudang penyimpanan jerami. Kurasa tempat itu sempurna, sebab tidak ada dari kami yang membawa peralatan untuk berkemah. Tumpukan jerami-jerami di sana akan membantu menjaga suhu tubuh kami agar tetap hangat. Kuanggukkan kepalaku seraya mendatangi tempat yang dimaksud.

“Tidak ada yang lebih baik dari ini,” ucapku setelah mengecek kondisi bagian dalam gudang. Ohkura membenarkan posisi tumpukkan jerami sebelum kemudian keluar untuk memanggil Yasu. Walaupun ketika ia hendak melakukannya, orang yang bersangkutan sudah lebih dulu berlari mendatangi kami.

“MENUNDUK!!” Yasu segera mendorongku dan Ohkura sekuat tenaganya hingga kami bertiga pun jatuh ke atas tumpukkan jerami. Hanya berselang sekitar dua detik, terdengar suara lesatan anak panah bertubi-tubi menghantam dinding dan atap gudang tempat kami berada. Beberapa anak panah melesat menancap di bagian pintu gudang dan juga tanah di sekitar bangunan. Semua terjadi begitu mendadak hingga aku tak sempat bereaksi. Namun aku segera tersadar akan bunyi ringikan kuda dan derap langkah kaki orang-orang.

“Keluar dari sana!” teriak seseorang pada kami. Belum sempat aku bergerak dari posisiku, tiba-tiba tiga orang dengan pakaian prajurit masuk ke dalam gudang dan mencengkram lengan kami dengan sangat kuat. Mereka kemudian membawa kami keluar sambil lalu melempar kami bertiga dengan kasar ke tanah. Tubuh orang-orang itu terlalu besar sehingga aku tidak melakukan perlawanan. Kulihat Ohkura sempat berontak, namun tentu saja ia tidak berdaya ketika puluhan anak panah diarahkan padanya.

Di hadapan kami telah berdiri sekumpulan prajurit berkuda dan puluhan prajurit pemanah yang tidak pernah kami lihat sebelumnya. Namun aku langsung tahu bahwa mereka adalah prajurit Yoto dari lambang yang tercetak di seragam mereka. Hanya saja, bentuk mereka sedikit berbeda dengan para prajurit yang kami lihat di Kaosa. Sepertinya orang-orang tersebut berasal dari divisi yang lain lagi.

“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di tempat ini?” Tanya seseorang yang sepertinya adalah pempimpin di kelompok tersebut. Ia berbicara dari atas kuda sehingga aku harus menengadahkan wajahku sedemikian rupa agar bisa melihatnya. “Anak buahku melihat kalian keluar dari Kaosa dengan mudah, kalian pasti anak buah Kitayama,” lanjutnya lagi. Yasu buru-buru menggeleng.

“Kami prajurit utusan Commander Murakami! Kami menyamar agar tidak dibunuh oleh pasukan Okto!” ucapnya seraya berusaha berdiri. Prajurit berbadan besar di belakang kami segera menendang Yasu dengan sangat kasar untuk membuat anak itu tetap terduduk di tanah. Ohkura hampir saja menebaskan pedangnya ke pria besar tersebut kalau saja ia tidak segera dipukuli oleh prajurit lainnya. Aku hanya bisa memegangi Yasu dan berteriak, “Hentikan! Kumohon!” agar mereka tidak melanjutkan penyiksaan tak beralasan ini.

“Hentikan!” ucap pemimpin mereka memberi perintah. Akupun menggunakan kesempatan itu untuk buru-buru melepas kain ungu yang melilit di perutku dan mengangkatnya ke udara. Seharusnya stempel Yoto ini bisa meyakinkan mereka bahwa kami tidak sedang berbohong.

Salah seorang prajurit lalu merampas kain itu dari tanganku dan memberikannya kepada pemimpin mereka. Pria itupun mengamati dengan seksama sambil sesekali memperhatikan kami.

“Turunkan senjata kalian,” akhirnya ia memberi perintah pada seluruh bawahannya untuk berhenti mengancam. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanyanya melihat kepadaku seraya menyerahkan kembali kain tersebut pada seorang prajuritnya. Sebenarnya aku mengharapkan permintaan maaf dari orang itu atas kesalahpahaman ini sebelum membicarakan hal yang lain, tapi nampaknya itu sudah tidak penting lagi. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap congak orang-orang.

“Kami akan ke Saikan. Selain menyamar, tidak ada cara lain untuk bisa melewati Kaosa yang sudah dikuasai Okto,” jawabku mengulang perkataan Yasu tadi. Aku tidak menyangka bahwa permainan peran ini telah membuat kami menjadi seorang penipu. Tidak benar-benar menipu tentunya, karena apa yang kami ucapkan juga tidak salah. Hanya saja aku merasa kini kami seperti manusia-manusia bermuka dua. Yang tidak konsisten akan jati diri kami sebenarnya. Namun apa boleh buat, ini semua terpaksa dilakukan agar kami bisa tiba dengan selamat di Saikan. Asal bisa bertahan hidup, aku tidak terlalu peduli dengan hal itu.

“Kalian cukup hebat bisa lolos dari sana,” pria itu mengapresiasi. “Pasukan Okto sangat kuat sampai Raja Ohno harus mengirimku untuk melawan mereka,” lanjutnya lagi. “Begitu mendengar Kaosa telah dikuasai, aku segera menyiapkan strategi untuk menghadang mereka di wilayah ini. Aku tahu mereka tidak akan berhenti sampai seluruh wilayah Yoto ditaklukan”.

Aku tidak tahu siapa dan apa jabatan pria tersebut di kepemerintahan Yoto, tapi nampaknya ia adalah orang yang hebat. Meskipun tidak terlalu penting bagi kami untuk mengetahui apa rencana mereka setelah ini, kurasa menggali informasi sebanyak-banyaknya akan sangat membantu kami dalam mengambil langkah selanjutnya. Yasu pun sepertinya memiliki pemikiran yang sama denganku sehingga ia segera melontarkan pertanyaan sebelum kami diusir dari sini.

“Ibukota dan benteng barat sedang diserang oleh Okto, juga Kaosa yang sudah dihancurkan. Tidakkah ini berbahaya bagi Yoto?” tanya anak itu memegangi dadanya. Aku tahu ia tengah merasa sakit, tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan itu. Pria di atas kuda menatap Yasu.

“Raja Ohno tidak peduli pada luas wilayah ataupun rakyat, asalkan bisa memancing Kitayama keluar dari Okto, maka ia akan melakukan rencana apapun…. termasuk berpura-pura terdesak,” jawab si pria tersebut tersenyum. Lagi-lagi dengan jenis senyuman yang sama sekali tidak memancarkan kehangatan. “Raja Ohno sudah tahu semua taktik Kitayama. Baginya, orang itu hanyalah seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Bisa bertahan hidup sebagai raja Okto sampai saat ini adalah karena ia dilindungi oleh orang-orang Inagaki yang masih hidup. Tapi jika harus bertempur satu lawan satu, Kitayama bukan apa-apa bagi Raja Ohno,” lanjutnya lagi. Sepertinya ia punya hubungan yang cukup dekat dengan raja hingga ia tahu akan hal itu. Dan aku juga cukup kaget dengan diriku sendiri yang merasa baik-baik saja ketika Raja Kitayama dihina olehnya.

“Apa yang telah Raja Ohno rencanakan?” tanya Yasu mengerutkan dahinya. Membuat pria tersebut dan beberapa orang-orang di belakangnya langsung tertawa kecil. Aku sama sekali tidak tahu apa yang lucu dari pertanyaan Yasu tersebut.

“Aku lupa kalau prajurit biasa seperti kalian tidak tahu mengenai hal ini. Kalian beruntung bertemu aku,” ucapnya dengan ekspresi bangga, entah karena apa. Mungkin karena dirinya sendiri. “Sejak awal Raja Ohno sudah tahu tentang semua rencana penyerangan, baik itu di ibukota ataupun Kaosa. Beliau sengaja membiarkan hal itu terjadi untuk memberikan kesan bahwa Yoto sedang lemah. Dengan mengirim penyerangan tertutup ke Kaosa, Kitayama pikir dia bisa membuat Raja Ohno bingung dan tersudut. Padahal saat ini beliau sedang memancing Kitayama ke istana dengan membiarkan mereka masuk dari ibukota,” pria itu mulai menjelaskan. Aku tidak terlalu paham apa yang ia katakan, tapi aku yakin Yasu pasti mengerti.

“Apa maksud anda dengan memancing?” anak itu mencoba menggali informasi lebih dalam lagi. Sementara aku dan Ohkura hanya bisa mengikuti pembicaraan dalam diam. Pria itu mengelus kudanya yang bergerak-gerak resah sebelum lalu menjawab.

“Aku bukan bagian dari keluarga raja, sehingga aku tidak tahu apa yang sudah terjadi antara Raja Ohno dan Kitayama. Yang jelas, bisa kupastikan Kitayama sendirilah yang akan turun untuk menyerang istana Yoto dalam waktu dekat. Penyerangan lainnya hanya sebagai pengacau dan pengecoh saja,” ucapnya memberitahu. “Raja Ohno sendiri sudah menyiapkan pasukan besar di wilayah istana. Itu sebabnya hanya ada sedikit prajurit di Ibukota dan Kaosa,” lanjutnya lagi. “Aku kasihan pada Murakami yang dikorbankan untuk rencana ini,” wajahnya tersenyum ketika mengatakan hal itu. Sama sekali bukan sebuah ekspresi simpati atau iba yang orang normal biasa tunjukkan. Membuatku sedikit bergidik karenanya.

“Commander Murakami….?” Yasu menatap ke arah pria tersebut masih dengan dahi berkerut. Ada banyak hal yang sedang diproses di dalam kepala anak itu saat ini. Hanya dengan melihat wajahnya saja aku bisa ikut merasakan kerumitan tersebut. Karena itu secara spontan kuelus punggung Yasu dengan maksud untuk menenangkan, meskipun pada kenyataannya hal itu juga tidak memberikan efek apapun.

“Ia diarahkan ke garda depan sebagai tumbal. Raja Ohno tidak akan mengirimkan bantuan ke ibukota seperti yang ia minta. Seperti halnya memancing, Murakami hanyalah sebuah umpan. Hanya sebuah makanan pembuka,” ucap pria itu tersenyum. “Aku tidak tahu apa rencana Murakami mengirim kalian ke Saikan, tapi kurasa ini adalah keberuntungan. Kalau kalian ada di ibukota, aku rasa hidup kalian tidak akan lama,” lanjutnya lagi seraya mengakhiri penjelasan panjangnya. Aku juga tidak begitu paham kenapa ia mau menjelaskan semua itu kepada kami. Di satu sisi aku benar-benar merasa bersyukur Commander Murakami telah membekali kami dengan kain berstempel Yoto sebelum keberangkatan.

Yasu terdiam di posisinya, masih mencoba untuk mencerna. Ia sengaja membiarkan Ohkura menanyakan beberapa pertanyaan lainnya.

“Kenapa Raja Ohno mengirimmu ke sini?! Tidakkah sebaiknya kau menunggu di istana sampai Raja Kitayama tiba?!” sepertinya Ohkura masih agak sedikit kesal atas pemukulan tadi, sebab nada bicaranya terdengar kasar seperti orang marah. Seorang prajurit berbadan besar di belakang kami segera meneriaki lelaki itu.

“Hey! Jaga mulutmu! Ingat! Beliau adalah Yaotome Hikaru! Pengawal pribadi Raja Ohno!” bentaknya seraya memukul kepala Ohkura. Tidak bisakah orang-orang ini berhenti menggunakan kekerasan tiap kali berbicara? Aku berganti memegangi Ohkura agar anak itu tidak membalas pukulan tadi.

“Raja Ohno butuh untuk Kitayama masuk lewat ibukota, bukan yang lain. Karena itulah semua jalan yang dapat digunakan Okto sebagai alternatif harus ditutup. Dan aku di sini untuk melakukan hal itu,” jawab pria bernama Yaotome tersebut. “Aku senang Kitayama mengirim pasukan elitnya untuk menyerang Kaosa, karena aku sudah tidak sabar untuk segera bertarung dan membunuh mereka semua,” lanjutnya lagi sambil tersenyum kecil. Kilatan di matanya seperti mengatakan bahwa ia sedang bernafsu untuk membunuh. Membuatku menelan ludah dengan berat.

“Sebaiknya kalian segera meninggalkan tempat ini,” ucap pria tersebut untuk yang terakhir kali sebelum beranjak dari tempatnya. Kuda yang ia tunggangi meringik dengan keras hingga membuat kami bertiga kaget. Tanpa menunggu tanggapan apapun, anak buah Yaotome dengan kasar segera menyeret dan menghempaskan kami ke arah gerbang keluar. Mereka menyuruh aku, Yasu, dan Ohkura untuk meninggalkan kota ini sekarang juga. Dan tentu saja tidak ada pilihan bagi kami selain menuruti hal tersebut.

Kami berlari dengan sedikit tertatih menjauhi gerbang kota. Tidak lagi menolehkan wajah ke belakang karena kami tahu anak buah Yaotome masih terus mengawasi. Sampai pada jarak yang cukup jauh dan lepas dari pandangan mereka, barulah kami bertiga bisa menghela napas dengan lega.

Konflik terasa semakin aneh. Dan kami bertiga jadi semakin ingin cepat-cepat menemui Tsuyoshi untuk mengkonfirmasi. Tapi sebelum benar-benar melanjutkan perjalanan ke Saikan, Ohkura mengusulkan agar kami berhenti sejenak di sebuah sungai tak jauh dari kota untuk mengisi persediaan air. Padahal aku tahu ia hanya ingin agar kami punya waktu untuk istirahat, apalagi setelah tadi dicurigai serta dipukuli oleh Yaotome dan orang-orangnya. Aku setuju dengan usulan Ohkura tersebut, sebab ada banyak spekulasi yang ingin kudengar dari Yasu.

“Apakah kita akan jadi seperti mereka? Manusia gila maniak membunuh?” Aku bertanya sebelum mencuci wajahku dengan air sungai yang dingin. “Jika tingginya posisi membuat kita jadi semakin sinting, lebih baik aku jadi prajurit penjaga saja selamanya, asalkan pikiranku masih normal,” lanjutku lagi sambil membasahi rambut. Ohkura mengangguk di tempatnya berjongkok.

“Raja Ohno, Raja Kitayama, Tsukada, Yaotome, dan mungkin masih banyak lagi orang-orang pemegang kekuasaan yang sinting seperti mereka,” lelaki itu memandangi bayangan bulan yang terpantul di air. “Tapi…” Ohkura menoleh ke arahku dengan ekspresi serius. “Kita juga butuh ada di posisi mereka untuk bisa merubah seluruh sistem kerajaan yang ada sekarang,” ucapnya memberitahu. Aku paham benar apa yang anak itu maksud.

Guru kami di barak pernah mengatakan bahwa satu orang panglima perang bisa mengendalikan sepuluh ribu pasukan, sementara satu orang raja bisa mengendalikan ribuan panglima perang. Itu artinya, sekeras apapun usaha kami sebagai prajurit biasa untuk mengubah keadaan, pada akhirnya tetap orang yang punya kekuasaan lah yang akan menang. Sayangnya, aku tidak sepercaya diri Ohkura untuk bisa memiliki cita-cita setinggi itu. Menjadi commander, general, atau bahkan raja. Rasa-rasanya mentalku yang tidak siap untuk menerima tekanan dan seluruh tanggung jawab tersebut.

“Setidaknya kita bisa memilih untuk bertempur di pihak yang benar,” Yasu menyahut seraya berjongkok di antara kami. Aku dan Ohkura mengangguk setuju.

“Lalu…. apakah yang dikatakan orang bernama Yaotome tadi benar?” tanyaku pada anak itu seraya duduk di rerumputan. Yasu mengisi botol air minumnya dalam diam selama beberapa saat sebelum lalu ikut terduduk. Sebenarnya aku merasa agak bodoh karena selalu meminta Yasu atau Ohkura untuk menjelaskan padaku tentang perkara yang terjadi. Tapi jika tidak demikian, maka aku tidak akan tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka. Sudah kukatakan sebelum ini, kejeniusan dua orang tersebut ada di level yang berbeda denganku, dan aku bergantung pada mereka.

“Aku tidak tahu apakah yang dikatakan orang itu benar atau tidak. Tapi kalau ia pengawal pribadi Raja Ohno, kurasa informasi tadi bisa sedikit kita percaya,” Yasu meminum beberapa teguk air sambil kemudian mulai menjelaskan. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka maksud dengan pengawal pribadi raja, apa tugasnya, dan apa kekuasaan yang dimilikinya dalam kepemerintahan. Namun kata-kata “pengawal pribadi” itu sendiri seperti punya kekuatan khusus dibanding posisi lainnya.

Yasu menjelaskan, ini semua terkesan seperti perang taktik. Di mana pihak yang lebih dulu bergerak dan merencanakan, itulah yang akan mengendalikan cerita. Mulanya kami pikir rencana penyerangan diam-diam Okto ke ibukota hanya diketahui oleh Commander Murakami, sehingga setelah menerima data perang dari Yasu dan mengetahui jumlah pasukan penyerang, beliau segera melapor ke istana seraya meminta bantuan raja untuk mempertahankan ibukota. Namun ternyata Raja Ohno sudah lebih dulu mengetahui rencana itu dan membiarkan Commander Muarakami bekerja sendiri. Jika ibukota hancur, maka Raja Kitayama akan punya jalan untuk masuk ke istana. Dan itu memanglah yang diinginkan oleh Raja Ohno.

Di pihak berbeda, Raja Kitayama mengirimkan pasukan elit untuk menyerang Kaosa agar ia punya jalur lain jika sekiranya ibukota tidak bisa ditaklukan. Sayangnya, Raja Ohno juga sudah lebih dulu membaca itu dan mengirimkan Yaotome untuk menutup jalan tersebut. Melihat kondisi dari luar, Raja Kitayama mungkin berpikir bahwa ia berada satu langkah di atas Raja Ohno, sebab rencananya terlihat seperti berhasil. Penyerangan di Kaosa membuat Raja Ohno bingung dan pertahanan di ibukota menjadi lemah. Ia lalu bisa dengan mudah masuk ke istana. Padahal, Raja Ohno sama sekali tidak sedang kebingungan dan ibukota memang sengaja dibiarkan hancur. Raja Kitayama seakan termakan oleh perangkap “pura-pura terdesak” yang dilakukan oleh Raja Ohno.

Sejujurnya, aku sangat menyayangkan beliau memilih Commander Murakami untuk dikorbankan sebagai tumbal. Namun saat mengingat bahwa ada kemungkinan Raja Ohno sudah tahu siapa pembelot di antara orang-orangnya, rasanya menjadi wajar jika ia membiarkan pria itu bergerak sendiri di ibukota. Aku tidak tahu seberapa hebat Raja Ohno menggali informasi tentang musuh, tapi setelah mendengar cerita dari Yaotome, aku jadi yakin bahwa beliau memang pantas untuk ditakuti.

“Coba pikirkan ini,” Yasu membuyarkanku dan Ohkura dari keterdiaman. “Jika Raja Kitayama berhasil menembus ibukota hingga ke istana, maka pertemuan antara Raja Okto dan Raja Yoto untuk pertama kalinya setelah tiga puluh tahun terakhir akan terjadi,” ucapnya memberitahu. Aku dan Ohkura mengangguk. “Itu artinya….” anak tersebut menegakkan punggungnya sebelum kemudian meneruskan, “Saat itu adalah saat yang tepat untuk kudeta”.

Aku dan Ohkura membulatkan mata kami bersamaan.

“Kau benar!” lelaki yang lebih tinggi mengguncang bahu Yasu. Seperti baru saja mendapat sebuah ide yang brillian, mata Ohkura berbinar takjub. “Kita bisa menggunakan kesempatan itu untuk mempertemukan ketiga belah pihak. Okto, Yoto, dan Saikan!” ucapnya antusias. Yasu mengangguk membenarkan. Kedua anak itu berbicara seolah-olah mereka sudah yakin bahwa dokumen Jia yang ada di tangan Tsuyoshi pasti benar adanya.

“Jadi sejak awal kalian memang sudah memutuskan?” tanyaku pada dua orang tersebut. “Bagaimana jika sebenarnya Tsuyoshi sedang menipu semua orang dan juga ingin menguasai Jia untuk dirinya sendiri? Lalu apa yang harus kita lakukan? Kembali ke Okto?” tanyaku  lagi. Sejujurnya aku tidak pernah peduli akan hal itu. Selalu kubilang berkali-kali bahwa aku sama sekali tidak peduli akan hal itu. Aku akan ikut kemana saja Yasu dan Ohkura pergi. Hanya saja, aku berharap agar kami memilih jalan dengan resiko terbunuh yang paling kecil. Dan aku menjadi bingung dengan diriku sendiri karena tahu bahwa resiko itu sebenarnya ada di setiap pilihan.

“Dokumen itu memang belum pasti. Tapi ambisi dan cara berperang Okto maupun Yoto sedikit banyak sudah menunjukkan bahwa kedua belah pihak tidak memikirkan keselamatan penduduk. Selama ini mereka hanya membunuh dan menghancurkan saja,” Yasu menatapku dengan sorot mata yang tegas. “Maru, Tsuyoshi memberikan kita harapan… kau tahu ‘kan? meskipun hanya sedikit, aku ingin mempercayainya,” lanjutnya lagi. Aku ingat anak itu pernah mengatakan hal yang sama ketika kami berada di benteng. Ia punya pendirian yang teguh. Aku salut. Meskipun bagiku sendiri hal yang kupercaya bukanlah harapan seperti yang ia bicarakan itu.

“Aku tahu, aku percaya padamu,” ucapku kembali mengulang jawaban yang sama seperti saat kami berbincang di benteng. Rasanya aneh untukku bisa mempercayai Yasu dan apapun yang ia pikirkan. Aku terlalu bergantung padanya. Bahkan jika anak itu terjatuh ke dalam jurang yang dalam sekalipun, mungkin aku akan melompat untuk menyusulnya. “Aku hanya tidak mau kita mati sia-sia,” tambahku ketika anak itu mengguncang pundakku pelan. Ohkura menjulurkan tangannya dari sisi Yasu untuk menepuk dadaku.

“Kuatkan dirimu. Kita adalah prajurit. Kita mungkin pembelot, tapi kita bukan pengecut,” ucapnya tegas. Kulihat wajah kedua orang di hadapanku secara bergantian dan mendapati ada keyakinan yang kuat di dalam diri mereka.

“Tidak ada salahnya untuk waspada,” sahutku pelan. Ohkura mendengus.

“Jika dokumen Jia itu palsu, maka tidak ada pihak yang patut untuk kita bela. Saat itu, aku akan membunuh ketiga pemimpin dengan tanganku sendiri,” Ohkura memperlihatkan genggaman tangannya di wajahku. Namun Yasu segera menurunkan tangan lelaki tersebut seraya menenangkannya.

“Aku tidak meragukanmu, tapi kita akan pikirkan jalan yang lebih baik nanti. Saat ini, kita hanya harus pergi ke Saikan untuk menemui Tsuyoshi,” ucap Yasu mengingatkan. Sepertinya aku dan Ohkura sudah membayangkan terlalu jauh hal yang juga belum pasti terjadi. Faktanya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama kami bertiga masih hidup.

Memutuskan untuk tidak membuang waktu terlalu banyak, kami pun segera melanjutkan perjalanan kami ke Saikan. Ditambah dengan informasi dari Yaotome bahwa Raja Kitayama berkemungkinan akan turun ke istana Yoto, hal ini semakin membuat kami ingin cepat-cepat menemui Tsuyoshi dan mengatur strategi.

Sebelumnya aku tidak pernah menyangka bahwa kami bertiga akan melibatkan diri sejauh ini ke dalam konflik kerajaan. Tapi semua sudah terjadi dan tidak ada lagi jalan untuk kembali. Tidak mungkin kami diam saja setelah apa yang kami saksikan dan bersikap seakan tidak mengetahui semua hal tersebut. Apapun yang akan dihadapkan pada kami nanti, seberat apapun itu, harus kami terima dengan keberanian dan juga tanggung jawab. Sebab ini adalah pilihan kami. Ini adalah peran kami sebagai seorang prajurit.

Chapter 2 : Jalan Menuju Kebenaran

END

Leave a comment