[Minichapter] On The Way To Find You (Chapter 2) ~Sequel of ‘My Lovely Petto’~

Title       : On The Way To Find You (Sequel from My Lovely Petto)
Type      : Minichapter
Chapter    : 2
Author    : Dinchan Tegoshi & Fukuzawa Saya
Genre     : Romance *and always~ :P*
Ratting    : PG-13
Fandom   : JE
Starring    : Arioka Daiki (HSJ), Takaki Yuya (HSJ), Morimoto Ryutaro (HSJ), Yaotome Hikaru (HSJ), Kitayama Hiromitsu (Kis-My-Ft2), Ikuta Din (OC), Takaki Saifu (OC),  and other HSJ’s member as an extras~ 😛
Disclaimer    : We don’t own all character here. Arioka Daiki, Takaki Yuya, Yaotome Hikaru, Morimoto Ryutaro and Kitayama Hiromitsu are belongs to JE, Din, Saifu are our OC. It’s just a sequel of ‘My Lovely Petto’.
COMMENTS are LOVE… Please Don’t Be A Silent Reader… it’s just a fiction.. please read it happily~ I love comment… please leave some comment~ ^^

On The Way To Find You
~ Chapter 2 ~

Saifu terbaring dikasurnya, dia baru saja pulang dari acara kelulusannya .

Saifu terdiam, memikirkan dirinya yang baru saja putus dengan Ryutaro , dia teringat lagi kejadian tadi saat dia akhirnya mengatakan pada Ryutaro..bahwa dia mencintai Daiki.

“Ryuu..gomen aku..aku mencintainya..” kata Saifu lirih.

Ryutaro mengangguk, “Un..wakatta… aku tahu…aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya”

Ryutaro menatap Saifu, memaksakan dirinya agar tersenyum.

Ia harus terlihat baik – baik saja.

“Tapi  aku sangat mencintaimu Takaki Saifu …jika kau tak bisa bertemu lagi dengannya, kau harus kembali padaku…” Ryutaro tersenyum lirih, mengenggam tangan Saifu erat.

“Aku tak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu..” Ryutaro menunduk, “Tapi aku tau…hatimu tak lagi untukku, sejak dia selalu bersamamu..”

“Gomen aku…”

“Daijobu..” Ryutaro bangkit, mengacak rambut Saifu dengan sayang, “Jangan menangis lagi, ne? Semoga kau bertemu dengannya lagi. Ah…aku harus pergi..jya nee!”

Saifu hanya menatap punggung Ryutaro yang berlari pergi sambil mengenggam erat bandul kalungnya.

“Daiki…” gumam Saifu sambil terisak .

“Daiki…” Saifu masih terbaring dikasurnya sambil mengenggam erat bandul kalungnya.

“Aku akan menunggumu sampai kau kembali…” air mata Saifu mulai turun dari matanya, turun dengar derasnya keluar.

“Walaupun aku tak tahu….kau akan kembali..atau tidak…” Saifu tersenyum dengan air matanya yang terus mengalir, Saifu menutup matanya sambil tersenyum, “Tapi aku akan menunggu dan terus mencintaimu…”

==========

“Tapi bu… aku ingin dengan Nii-chan…” rengek Din lagi.

Hari ini Din harus ke Rumah Sakit untuk kembali menjalankan terapi yang memang sedang ia jalani. Untuk memulihkan beberapa tubuhnya yang kaku akibat kecelakaan dan koma.

“Baiklah…jadi kau mau ke Rumah Sakit jika diantar kakakmu?” tanya Ibu memandangi putrinya dengan pandangan tak tega.

Ia tahu.

Semua orang di rumah ini tahu, Kitayama dan Din saling mencintai, tapi mereka kakak-adik walaupun tidak sedarah. Ibunya tak ingin mereka bersama untuk kebaikan semuanya.

Untuk gadis itu sendiri, seorang Kitayama Hiromitsu adalah sosok yang bisa membuatnya tenang. Ia tak mengerti kenapa, ia berfikir mungkin karena Kitayama adalah kakaknya, sehingga mereka sering bersama dan ia mungkin cukup dekat dengan sang kakak.

“Baiklah… kita kesana, dan Ibu akan memanggil Kitayama-kun untuk menemanimu. Bagaimana?”

Din mengangguk, lalu dengan riang pergi ke Rumah Sakit sementara Ibunya menghubungi Kitayama.

“Nii-chan tidak sedang sibuk kan?” tanya Din yang duduk di kursi rodanya.

Kitayama sudah menunggunya di depan pintu Rumah Sakit itu.

Kitayama menggeleng dan mengambil alih kursi roda yang dipakai oleh Din.

“Aku tidak sedang sibuk kok…”

Keduanya memasuki lobby ketika sekelompok orang lewat di hadapan mereka. Sibuk membawa seseorang yang kelihatannya berdarah cukup parah.

“Aduh…” keluh orang itu.

“Sabar Yuyan… kita hampir sampai…” Hikaru memapah Yuya yang terluka di bagian tangan kanannya cukup parah.

Karena keteledoran staff nya, sebuah kayu hampir mengenai pemain filmnya, namun secara refleks Yuya menghalanginya dan saat itulah tangan Yuya terkena kayu tersebut karena melindunginya.

Din yang duduk di kursi roda memandangi sosok Yuya yang lewat di hadapannya dengan wajah meringis kesakitan, di antar oleh banyak orang. Tiba-tiba ia merasa tidak asing dengan sosok itu, apalagi ketika Yuya secara sekilas sepertinya menatapnya.

Yuya membatin dalam hati, ‘Apa karena darah yang keluar begitu banyak sehingga aku berhalusinasi?’

Ia melihat Din.

Kucingnya yang sudah lama hilang.

Tapi,

Dia bersama seorang laki – laki.

Tak mungkin Din mengenal orang lain selain teman-temannya.

Yuya segera menghapus pikiran itu karena sakit di tangannya kembali menyerang. Sebelum akhirnya dia ditangani seorang dokter.

=============

“Anou senpai..gomen…” Saifu menatap senpainya yang kini wajahnya ditekuk itu dengan tak enak.

“Fu-chan..kenapa sih? setiap kali kuajak kencan kau tak pernah mau?” keluh senior Saifu, Gonchan. Yang masih bersikeras mendekati Saifu dan mengajaknya kencan walau Saifu terus menolaknya.

“Gomen…” hanya itu yang bisa Saifu katakan.

“Kau tak punya pacar kan? kenapa sih? memangnya aku seburuk itu..?” keluh Gonchan lagi.

Saifu merasa tak enak, “Baiklah..hanya jalan saja kan senpai?” tanya Saifu akhirnya.

Gonchan tersenyum senang, “Hai! Kalau begitu besok ya…kujemput kerumahmu…” putus Gonchan akhirnya.

“Eh?? ketemu di stasiun saja..” tawar Saifu, takut kalau Kakaknya nanti berbuat aneh saat melihat Gonchan didepan rumahnya.

“Baiklah..kalau begitu besok ketemu distasiun Shibuya ya,” kata Gonchan, “Aku pergi dulu, masih ada kuliah …jyaa ne Saifu..” kata Gonchan berlari pergi sambil melambaikan tangannya, Saifu hanya tersenyum sambil membalas lambaian tangan senpainya itu.

Saifu menghela nafas, dia bukannya benci pada senpainya yang sejak dia masuk Universitas ini hampir satu tahun lalu, terus mendekatinya.

Semua teman Saifu tau kalau Senpainya itu menyukainya, namun Saifu tak menanggapi Senpainya itu sama sekali.

Hatinya belum bisa melupakan orang itu.

Peri cintanya.

Daiki.

“Daiki….bisakah kau cepat kembali?” gumam Saifu pelan sambil menatap langit pagi yang mendung itu.

============

“Daiki okiro..memangnya kau gak bisa ya bangun pagi? kenapa juga aku harus bangunin adik pemalas kayak kamu sih…” keluh Daisuke, sambil mengguncang tubuh Daiki yang tertutup selimut dengan kakinya.

“Berisik…” gumam Daiki pelan.

“Bangunnn..!!!” seru Daisuke lagi.

Kali ini Daiki benar benar bangun, mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan, “Sudah keluar sana..aku sudah bangun..” kata Daiki walaupun dia bilang begitu matanya masih saja tertutup.

“Masa bodo…” gumam Daisuke lalu keluar dari kamar Daiki .

Daiki terdiam, entah mengapa tadi di mimpinya dia mendengar seseorang memanggil namanya.

Suara seorang gadis, yang sangat dia ingat. Tapi dia tetap tak bisa mengingat wajah gadis itu.

“Siapa dia?” gumam Daiki sambil mengusap usap kepalanya frustasi.

Sudah hampir satu tahun, dia terus terganggu dengan gadis yang sering muncul di mimpinya itu.

Dia tak tahu siapa gadis itu, namun hatinya sangat merindukan gadis yang terus memanggil namanya itu di mimpinya.

Drrttt…Drrttt..

Daiki merasakan keitainya bergetar, Makoto ternyata meneleponnya.

“Hai? Makoto…kenapa?” tanya Daiki.

“Temani aku beli hadiah untuk Yumi ya…onegai, nanti kan kita hanya kuliah satu mata pelajaran. Jadi temani aku beli hadiah untuk Yumi..onegai!” kata Makoto disebrang telepon.

Daiki terkekeh, “Baiklah baiklah…”

“Baiklah, arigatou ne..jyaa…” kata Makoto lalu memutuskan sambungan teleponnya.

===========

Jam 11 siang, Saifu sudah berdiri didepan stasiun tempat dia menunggu Gonchan.

Saifu menatap jam tangannya, sedikit kesal karena Gonchan telat hampir 10 menit dari waktu janjian.

“Kemana sih dia?” keluh Saifu tak sabar.

Sepuluh menit kemudian sesosok laki-laki berlari ke arah Saifu sambil terengah-engah, Saifu menggelengkan kepalanya menatap Senpainya yang terengah-engah itu.

“Gomen..aku telat…” kata Gonchan meminta maaf, “Aku…telat bangun,” jelas Gonchan.

Saifu mengangguk, “Wakatta…”

“Hontou ni gomen..kau marah ya?” tanya Gonchan .

Saifu menggeleng, “Daijobu desu..kita mau kemana?” tanya Saifu.

“Hmm..bagaimana kalau nonton? Ada film yang ingin kulihat..dou?” tanya Gonchan.

Saifu mengangguk, merasa tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan senpainya ini dan cepat-cepat pulang.

“Baiklah…ayo…” kata Gonchan yang langsung menggandeng tangan Saifu yang sesaat terpaku menatap tangannya digenggam oleh Gonchan.

“Eh??” Gonchan sadar Saifu sepertinya merasa sedikit tak enak tangannya digenggam oleh Gonchan, “Gomen…” kata Gonchan lalu melepaskan genggaman tangannya.

Saifu tersenyum, “Daijobu…” gumam Saifu pelan, Ingatannya berputar.

Saifu kembali mengingat bagaimana tangannya dan tangan Daiki saling bertautan.

“Hari ini panas sekali…pakailah…” kata Gonchan lalu memakaikan topi yang tadinya dia pakai kekepala Saifu, dan lagi-lagi membuat Saifu teringat bagaimana dulu dia memakaikan topi ke kepala Daiki yang terlihat kepanasan.

“Saifu..daijobu ka?” tanya Gonchan menyadarkan Saifu dari lamunannya.

“Eh?” Saifu menganguk canggung, “Dai..daijobu…”

“Hontou?” tanya Gonchan meyakinkan.

Saifu mengangguk, “Kalau begitu ayo…” kata Saifu lalu berjalan diikuti Gonchan yang berjalan disampingnya.

“Menurutmu apa yang bagus Daiki?” tanya Makoto sambil melihat-lihat berbagai brang yang ada di toko dimana mereka berada sekarang.

“Kau kan pacarnya, harusnya kau tau kan dia suka apa…” kata Daiki sambil melihat lihat topi yang dipajang di toko.

“Ck kau ini…kukira aku bisa minta pendapatmu tentang hadiah apa yang bagus untuk Yumi…” Makoto menatap Daiki, “Kau malah asik belanja sendiri…dasar…” keluh Makoto lagi.

Daiki tertawa pelan, “Gomen… gomen.. bagaimana kalu barang yang manis saja? Yumi kan manis ne? Jadi barang manis pasti cocok untuknya…” kata Daiki, menunjukkan sebuah bando dengan hiasan yang sangat manis.

“Ah…benar juga!” Makoto tersenyum senang, “Sebentar… apa maksudmu Yumi manis? Jangan bilang kau suka pada Yumi…” kata Makoto sambil menatap Daiki curiga.

“Baka!! Aku kan kasih pendapat, kenapa kau malah menuduhku yang tidak-tidak?” kata Daiki kesal, “Aku tak suka padanya,” elak Daiki lagi.

Makoto tertawa, “Wakatta wakatta..aku sebenarnya heran padamu, banyak perempuan yang suka padamu. Tapi kenapa tak ada yang kau terima satu pun?” tanya Makoto sambil melihat lihat aksesoris .

“Aku juga tak tahu, hanya saja..aku tak bisa menerima perempuan-perempuan itu…” Daiki melihat ke jendela luar toko matanya seketika terpaku pada sesosok gadis yang tengah berjalan diluar toko.

Gadis itu mengenakan celana jins ¾ dan kaos berwana pink muda, dia mengenakan topi berwarna cream.

Daiki tak tahu kenapa, tapi dia ingat.

Gadis itu, gadis yang dilihatnya saat dia pergi ke festival sekolah.

Gadis yang entah mengapa terus dilihatnya dengan matanya.

“Daiki?” panggil Makoto menyadarkan Daiki yang masih menatap ke luar walaupun Gadis itu sudah tak terlihat dari dalam toko.

“Kau kenapa?” tanya Makoto lagi sambil menatap Daiki.

“Eh,” Daiki menggeleng, “Daijobu…”

Makoto mengerutkan dahinya bingung, “Sebenarnya kau kenapa sih?” tanya Makoto lagi.

Daiki tak menjawab, tetap diam.

Dia harus bertemu gadis itu, setidaknya itu yang dia pikirkan sekarang.

Tanpa banyak berfikir lagi, Daiki berlari keluar dari toko itu, menyeruak ditengah keramaian, mencoba manangkap gadis itu dengan matanya, namun nihil.

Gadis itu sudah tak ada, menghilang tertelan keramaian.

“SIAL!!” rutuk Daiki .

“Daiki!!” Makoto yang mengikuti Daiki menatap Daiki bingung, “Kau kenapa sih? Aneh sekali..kau lihat sesuatu?” tanya Makoto.

“Gadis itu… gadis itu..aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa sangat mengenal gadis itu, sangat merindukan gadis itu…” Daiki terdiam, tanpa sadar dia menangis, “Aku…entah mengapa sangat ingin memeluk gadis itu…aku tak tahu kenapa…” kata Daiki sambil menangis sesunggukan.

“Daiki…” Makoto memegang pundak Daiki, merasa bingung harus berkata apa karena ini kali pertama dia melihat Daiki menangis dan bertingkah seaneh itu.

“Siapa gadis itu?” tanya Makoto .

Daiki menggeleng, mengusap air matanya karena kini beberapa orang mulai memerhatikan mereka.

“Ayo ke cafe itu..kuceritakan,” kata Daiki sambil berjalan kearah sebuah cafe diikuti Makoto.

“Apa sih maksudmu? Jadi kau merasa menyukai gadis itu, padahal kau tak mengenalnya?” tanya Makoto tak percaya.

“Bukan begitu…” Daiki bingung ingin mengatakan apa, “Aku juga tak tahu Makoto… hanya saja aku merasa benar-benar mengenal gadis itu…” kata Daiki lagi sambil menatap gelas es kopinya.

Makoto meneguk tehnya, “Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi, untuk meyakinkanmu kalau kau bertemu gadis itu, kau harus bicara padanya kurasa,” kata Makoto.

Daiki mengangguk, “Wakatta…”

Makoto tersenyum, menepuk pundak sahabatnya itu, “Bersemangatlah…” kata Makoto.

Daiki tersenyum, “Arigatou,”

===============

“Hei… sutradara teladan!!” ucap Hikaru yang baru saja datang ke rumahnya, membawakan beberapa buah kesukaan Yuya.

Yuya duduk di depan televisi di ruang tengah rumahnya.

“Urusai naaa…” umpat Yuya kesal karena ia tak boleh dulu kemana-mana karena lukanya itu.

“Tenang saja… kita tinggal proses editing kok. Kou-chan yang akan mengerjakannya, aku juga membantunya,” kata Hikaru dengan wajah serius.

“Bisa selesai dua bulan lagi, kan?” tanya Yuya lagi.

“Hmmm… desember beres… sudahlah Yuya, kenapa saat sakit pun kau memikirkan pekerjaan? Gak pusing terus-terusan bekerja?” Hikaru beranjak ke dapur, mengambil pisau untuk mengupas apel.

“Baguslah… tangan begini bikin aku kesal saja…” umpat Yuya lalu memindahkan siaran televisi berulang-ulang.

“Apa karena kalau kau diam, kau memikirkan Din-chan?” Hikaru tak mau mengungkitnya, namun ia merasa Yuya tak bisa melupakan Din, padahal kejadiannya sudah berselang dua tahun.

Yuya tak menjawab, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Jawabannya tentu saja iya. Ketika ia tak ada kerjaan, ketika ia harus lama diam tanpa ada yang ia kerjakan, hanya Din yang pikirkan. Ia tahu mengharapkan Din kembali sepertinya tidak rasional. Gadis itu peri cinta, dan sudah kembali ke dunianya.

“Apa perlu aku carikan gadis lain?” Hikaru kini duduk di sebelah Yuya, mulai mengupas apel yang ia bawa.

Yuya mendelik ke arah Hikaru, “Tak usah mengurusi aku…”

Hikaru terkekeh, “Habis kau itu serius sekali sih, berbeda dengan Yuya yang aku kenal dulu,”

“Omong-omong, ngapain kau kesini?” seakan Yuya baru sadar, karena tak biasanya sahabatnya itu mendatangi ia sepagi ini terlebih lagi ke rumah. Mereka biasanya bertemu di bar atau di tempat kerja.

“Hehehe…kau bisa mencium gelagatku ya?”

“Kentara sekali, gingsul!” ucap Yuya mengambil apel yang baru selesai di potong dan dikupas oleh Hikaru.

“Aku cuma mau bilang,” Hikaru mengambil satu apel juga, lalu melanjutkan, “Aku akan bertunangan dengan Ai-chan,”

Yuya tertawa, “Lalu? Apa hubungannya denganku?”

“Kau kan mantannya… aku cuma tak mau kau kaget melihatku bersama Ai-chan nanti…”

“Apa sih Hikka…jangan sok serius, lagipula kau sudah pacaran lama dengannya, apa yang bikin aku kaget?” umpat Yuya tak mengerti jalan pikiran Hikaru.

“Sou ne… aku hanya mau pamer kalau aku bisa membuka hatiku pada orang lain… tak seperti kau yang belum bisa membuka hatimu untuk orang lain?” tanya Hikaru.

“Aku….”

“Kau selalu bilang padaku, hidup terus berjalan, iya kan? Tapi yang kulihat sekarang, hidupmu yang tidak maju ke depan… diam dan berjalan di tempat…”

Berniat menyerang, malah Yuya yang terserang oleh ucapan Hikaru. Yuya hanya bisa mendesah pelan dan pikirannya kembali melayang pada sosok Din. Tak bisa menjawab apapun pada Hikaru.

============

“Kau sudah mulai bisa berjalan dengan lancar… yokatta na…” Kitayama memapah Din lalu mendudukan Din di sebuah bangku.

Din tersenyum, terapi nya berjalan lancar. Beberapa bulan lagi ia pasti bisa berjalan dengan normal. Ini semua berkat dukungan dan sabarnya Kitayama menolongnya dan mendampinginya selama terapi.

“Nii-chan… apa dulu aku pernah pacaran, atau punya teman dekat?” tanya Din pada Kitayama.

Deg.

Gerakan Kitayama berhenti seketika.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Kitayama bingung.

Din mengingat pertemuannya dengan orang yang terluka di tangannya itu tempo hari. Setelah masuk ruang UGD, Din sempat melihat lagi pemuda itu. Dan ia tak merasa asing dengan orang itu. Makanya dia penasaran, jangan-jangan dia pernah punya seseorang yang penting untuknya, dan mungkin itu memang pemuda tempo hari.

“Aku…” Kitayama tak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu, ia merasa tak berdaya jika Din bertanya seperti itu, “Aku tak tahu Din-chan… kita kan sudah lama tak bertemu. Atau mungkin kau punya, tapi tak menceritakannya padaku sehingga aku tak bisa menceritakannya padamu…” ungkap Kitayama dengan anda suara bergetar.

Saat ini ia ingin sekali memeluk Din, mengatakan bahwa dirinya lah yang dulu menjadi seseorang itu.

“Nii-chan? Daijoubu?”

Kitayama tersenyum perih, menatap Din lalu membelai lembut rambut Din, “Daijoubu…kau jangan khawatirkan aku…”

Ini sudah keputusannya. Ia tak boleh melanggarnya. Din tak boleh tahu soal dirinya dan hubungan mereka dulu. Kitayama menghapusnya, membiarkan kenangan itu benar-benar hanya sebuah khayalannya, bukan kejadian sebenarnya.

===========

24 december

“Daiki tak mau ikut?” tanya Makoto meyakinkan Daiki yang menolak ikut merayakan natal bersama teman-temannnya.

Daiki membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke tas,”Ya…aku sedang tak ingin keluar..bersenang-senanglah,” kata Daiki.

“Ya sudah, kau pasti menyesal karena tak ikut…” kata Makoto lalu melambaikan tangannya pergi meninggalkan Daiki yang masih duduk dibangku kelasnya.

Daiki terdiam sebentar, lalu beranjak pergi.

Daiki menggosokkan tangannya yang kedinginan, salju mulai turun membuat udara semakin dingin saja.

“Samui…” gumam Daiki yang tengah berjalan, di depan Daiki tepat dipinggir jalan Daiki melihat sebuah kardus.

“Yappari..pasti ada yang membuang binatang lagi. Dingin sekali malam ini…kasihan…” kata Daiki sambil menghampiri kardus yang ternyata berisi seekor anjing kecil.

Di malam natal seperti ini, ada anjing kecil yang terlantar. Persis seperti dirinya yang kini berjalan sendirian.

“Kawaii…” kata Daiki sambil mengangkat anjing itu, “Kasihan kau…” kata Daiki sambil menatap anjing itu.

DEG.

“Eh?” tiba-tiba Daiki merasa dadanya hangat, entah mengapa.

Daiki bergumam sambil menatap anjing yang ada ditangannya, “Kenapa tiba-tiab terasa hangat?”

“Daiki…”

Sebuah suara memanggil Daiki, pemuda itu mendongak menatap seorang gadis yang juga menatapnya.

“Eh..” Daiki membulatkan matanya menatap gadis itu, gadis yang dilihatnya waktu itu, gadis yang terus membuatnya penasaran setengah mati, “Saifu?” Daiki bergumam pelan, walau sebenarnya dia tak mengerti kenapa dia bisa bergumam seperti itu. Dia tak ingat sama sekali gadis yang kini tengah berdiri dihadapannya itu.

“Yokatta…” lirih Gadis yang langsung menghambur kepelukan Daiki.

Daiki nampak bingung, tapi entah kenapa.

Dia merasa begitu merindukan gadis yang sekarang tengah ada dipelukannya itu, tangannya terulur membalas pelukan erat Saifu.

Perasaannya begitu lega, entah kenapa.

“Maaf aku tak ingat kau siapa..” kata Daiki saat mereka sudah saling mepaskan pelukan masing-masing.

“Gomen…” air mata gadis itu mengalir.

“Tapi… aku merasa sangat mengenalmu, dan entah kenapa..aku merasa lega sekaligus sangat rindu padamu..”Daiki memegang bagian dadanya, “Entah kenapa, dadaku terasa sangat hangat melihatmu…”

Saifu  tersenyum, “Kau pasti akan mengingatku…” kata Saifu sambil memeluk Daiki lagi, “My Lovely petto..” gumam Saifu pelan sambil memeluk Daiki erat, dan Daiki yang juga memeluk Saifu erat.

Hari itu Daiki seolah tak pernah ingin berpisah dengan gadis itu.

Tak ingin lagi.

“Kau yakin pergi sendiri?” Mama menatap Din yang masih bersiap-siap untuk ke kampus.

“Iya Ma…tak usah khawatir. Aku sudah hapal jalan pulang, aku bawa uang, aku bawa ponsel, dan aku pasti baik-baik saja,” ucap Din mantap lalu melilitkan syal.

Malam natal ini ia berjanji dengan temannya untuk menonton sebuah film indie.

Menurut temannya, film itu di produksi oleh alumni universitas tempatnya kini berkuliah.

Din memang mengambil kelas di angkatan lebih muda. Karena kecelakaan itu, ia harus mengulang dua semester lebih.

Tiba-tiba ia merasa ponselnya bergetar, tepat sebelum ia keluar dari rumah.

“Nii-chan? Ada apa?” angkat Din ketika melihat layar ponselnya, yang menelepon adalah Kitayama.

“Maaf aku tak bisa mengantar…masih banyak kerjaan,” kata Kitayama di seberang sana.

“Daijoubu Nii-chan…aku akan baik-baik saja kok,”

“Nanti pulangnya aku jemput. Bilang pada Mama tak usah khawatir, aku akan menjemputmu. Mengerti?” Kitayama mengatakannya dengan tak sabar.

“Haaaaiiii!!! Wakatta Nii-chan…”

Din menutup teleponnya lalu berteriak, “Mama… nanti pulangnya aku dijemput Nii-chan kok!!” serunya.

Mama menghampiri Din di pintu depan, “Benarkah?”

Din mengangguk, “Mama tak usah khawatir…itterasshai!!” Din keluar dari rumah.

Mama menatap pintu yang tertutup itu. Kitayama sudah melaksanakan janjinya untuk menganggap Din hanya adiknya saja.

Din terisak ketika film baru saja memperlihatkan adegan-adegan di tengah film. Ketika si peri cinta tidak diperdulikan, ketika peri cinta itu merasa tersakiti. Ia merasa film ini bagus sekali.

Dibalut dengan sedikit komedi romantis, pesan akan mempertahankan cinta itu tersampaikan dengan baik. Din melihat kembali Guide Book yang ia dapat di depan ketika membeli tiket untuk film ini.

“Eh… orang ini…” pemuda yang ia lihat di Rumah Sakit waktu itu.

“Yuya…Takaki…” Din bergumam membaca namanya. Sepertinya ia pernah mendengar nama itu.

Film berlanjut, semakin mendekati akhir, Din semakin sering menangis. Orang-orang di sekitarnya pun hampir semuanya menangis. Memang ceritanya sangat mengharukan, apalagi bagian dimana si tokoh utama harus berpisah dengan gadis peri cintanya, selamanya. Bahkan si pemuda belum sempat menyatakan cinta pada peri itu.

Nama-nama pemain dan staff bermunculan di layar. Din melihat ponselnya, dan mendapai sebuah pesan dari Kitayama.

From : Hiro-Nii
Subject : (no subject)
Setengah jam lagi aku jemput.
Tunggu di halte.

Din melirik waktu pesan itu datang. Ternyata kurang dari sepuluh menit lagi Kakaknya itu akan datang.

“Naomi…aku duluan ya…” pamit Din, sementara temannya itu masih saja menangis, namun mengangguk.

Din berjalan di kegelapan, menuju halte yang berjarak cukup dekat dari lapangan tempat ia menonton tadi.

“Dinchan…” sebuah sura pelan membuat Din menyadari ada orang lain disitu.

Walaupun agak gelap, tapi ia sadar siapa yang berad di sebelahnya, “Yuya… Takaki kan?”

“Kau sutradara sekaligus penulis naskah film tadi kan?!” serunya bersemangat. Ia tak menyangka bisa bertemu dengan Yuya secara langsung.

Namun pemuda itu terlihat begitu kaget dan dengan wajah bingung hanya mengangguk tak percaya.

“Filmnya bagus sekali!!” ucap Din memuji film yang membuatnya menangis beberapa kali itu. Din tersenyum dan menjabat tangan Yuya dengan sikap ceria.

“A…rigatou…” jawab Yuya menjawabnya dengan terbata – bata.

“Pulang kesana juga?” tanya Din sambil menunjuk sebuah arah.

Yuya mengangguk, lega sekali bisa melihat Din, tapi gadis itu tak ingat apapun. Ia bersikap seolah – olah tak mengenalnya.

“Menunggu bis?” tanya Din lagi.

“Hmmm… iya…uhuk!!” Yuya merasa tenggorokannya tiba-tiba gatal karena ia terlalu gugup.

“Aku menunggu jemputan saja,” jawab Din, tersenyum ke arah Yuya.

Yuya merasa pusing. Ia ingin sekali memeluk gadis itu, menciumnya mungkin.

Entahlah.

Semuanya terasa terlalu cepat dan membuatnya merasakan sensasi senang sekaligus bingung.

“Namamu, siapa?” tanya Yuya akhirnya.

“Ikuta Din… namaku Ikuta Din…” jawab si gadis dengan menyertakan sebuah senyum yang selama dua tahun ini selalu Yuya rindukan.

“Din…chan… hmmm…” Yuya menimbang-nimbang apa yang ingin ia katakan.

“Ya?”

Tak pikir panjang, otaknya macet dan tubuhnya bergerak semaunya. Yuya menghambur, memeluk Din dengan tiba-tiba. Merengkuh gadis itu tanpa penjelasan apapun.

“Anou… Takaki-san?” Din merasa bingung, gugup, namun hangat tubuh Yuya membuatnya nyaman, wangi tubuh Yuya yang sepertinya pernah ia cium sebelumnya.

“Diam…” perintah Yuya pelan, “Kumohon…biarkan aku begini…” rasanya tangisnya tak lagi bisa ia bendung, ia tak peduli dianggap cengeng.

Ia begitu merindukan Din.

Sementara itu Kitayama menghentikan mobilnya tak jauh dari halte. Din berpelukan dengan seorang laki-laki.

Siapa dia? Apa hubungannya dengan Din? Pikiran Kitayama mendadak dipenuh pertanyaan. Selama ini hanya dirinya yang menjadi kekasih Din. Ia tahu, dan tak pernah ada laki-laki lain.

“Din…siapa dia?” gumam Kitayama tak percaya.

==============

TBC~

Ayey~ chapter ini jadinya begini…hahaha..
Maap lama, saia banyak orderan…
#Plakk
COMMENTS ARE LOVE
Please don’t be a silent reader…
Sangat mengharapkan setelah membaca, silahkan di komen…
Untuk perbaikan kita, untuk jadi pelajaran buat kita..
#bow
COMMENTS yaaaaa!! Sankyu~ 🙂

1 thought on “[Minichapter] On The Way To Find You (Chapter 2) ~Sequel of ‘My Lovely Petto’~

Leave a comment