[Multichapter] Little Things Called Love (#1)

Little Things Called Love
By. Dinchan
Multichapter (Chapter 1)
Genre   : Romance, Friendship, Family, Drama
Rating   : PG-13
Starring : Kyomoto Taiga, Matsumura Hokuto, Tanaka Juri, Kouchi Yugo, Morimoto Shintaro, Jesse Lewis (SixTONES); Ichigo Yua, Kimura Aika, Kirie Hazuki, Mizutani Ruika, Takahara Airin, Matsumura Sonata (OC)
Disclaimer : I don’t own all characters here. SixTONES members are under Johnnys & Associates; the rest of the casts are my friends’ original character yang saya pinjam karakternya.
COMMENTS ARE LOVE. It’s just a fiction please read it happily. Fanfiksi ini hasil semedi mencari ide soal fanfic junior. Hahaha. PLEASE COMMENT IF YOU READ, your comment means so much for me.. ^^

Ketika malam mulai beranjak menjadi pagi, Ichigo Yua menatap laptopnya dengan frustasi. Belum ada satu kata pun keluar di layar, tangannya pun sejak tadi malah sibuk mengambil cemilan yang sengaja ia simpan di pinggir laptop mejanya dan cemilan itu dengan sukses berakhir di perutnya.

“Errgghhh…” Yua mengacak rambut sebahunya dengan frustasi, mengambil karet gelang dan menguncir poninya ke atas seperti air mancur. Memang tidak membantu dalam penulian tugasnya, ia hanya melakukannya untuk mengalihkan perhatiannya sejenak.

Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Yua, ia menatap pintu apartemennya, siapa yang menyantroninya di jam dua pagi ini?

“Yuuu… bukaaaa,” ketika mendengar suara itu Yua langsung tau siapa si pengganggu itu dan bergegas membuka pintunya.

Belum sempat Yua bersuara, seorang pemuda masuk ke ruangan kecil itu, “Minta mie instanmu dong, punyaku habis,” ucapnya tanpa dosa.

“Kau tau ini jam berapa, Kou?” Yua menunjuk-nunjuk jam dindingnya yang berlatarkan tulisan Hey What’s Up berwarna pink terang, kalau boleh jujur itu jam pemberian pemuda di depannya ini.

Alih-alih menjawab si pemuda menunjuk dahi Yua yang kini terekspos karena poninya yang dikuncir, “Berisik! Aku lapaaarrr,”

“Kouchi Yugoooo,” protesnya namun tak dihiraukan, karena sekarang Kouchi sudah sibuk membuka lemari dapur milik Yua dan mengambil sebuah ramen cup yang ada disana.

“Sekalian minta air panas deh kalo gitu,” Kouchi berjalan ke arah pemas air dan mulai membuka satu persatu bungkusan ramen cupnya.

Yua memutuskan untuk membiarkan Kouchi, toh walaupun dia marah, Kouchi akan tetap mengganggu hidupnya. Ia sudah menyerah dengan sikap Kouchi yang semena-mena dan menyebalkan. Namun dibalik itu, Kouchi adalah sahabatnya sejak kecil. Rumah mereka berdekatan, masuk di sekolah yang sama sejak TK, bermain di tempat yang sama, bahkan hingga ke perguruan tinggi yang sama dan kini tinggal di gedung apartemen yang sama. Yua bilang dia terkutuk harus selalu bersama Kouchi, sebaliknya Kouchi selalu senang ada orang yang bis ia andalkan dimana saja.

“Untung saja kita beda jurusan, aku bisa gila melihatmu setiap hari di kelas!” ujar Yua suatu hari. Saat itu Kouchi baru mengabarkan kelulusannya masuk ke Universitas yang sama dengan Yua.

“Bukannya beruntung? Jadi aku bisa mengantarmu kemana saja setiap hari!!” seru Kouchi yang tentu saja dibalas cibiran oleh Yua.

Tidak sampai lima menit kemudian Kouchi sudah duduk di sebelah Yua, lengkap dengan ramen cup dan teh hangat, “Ngerjain apa sih?” katanya lalu menggerakan kursor laptop untuk membaca apa yang Yua tulis, “tugas lagi?”

Mata Yua menyipit menatap Kouchi yang mulai makan ramen cupnya, “eerrgghh jangan makan di sini!! Muncrat-muncrat taaauuu!!” protesnya sambil mendorong bahu Kouchi menjauh.

Baka! Baka! Baka! Nanti tumpah!” Kouchi menjauhkan cupnya ke arah atas untuk menghindari tumpahan kuah ramen.

“Sudah sana balik ke apartemenmu sendiri!”

“Gak ah, pinjam tivi sekalian yaaa, aku mau nonton bola,” Kouchi menyalakan TV yang berada tepat di sebelah kanan mereka.

Yua segera menghembuskan nafas berat, prcuma memarahi Kouchi sekarang. Pemuda itu tidak akan mendengarkannya, “Terserah kau saja, Kou,” tugasnya tidak akan selesai malam ini, besok pasti ia terpaksa ke perpustakaan pagi-pagi.

***

Aika kembali mengecek dandanannya hari ini. Tidak bisa disebut dandan juga sih, setidaknya ia membubuhkan bedak dan mengoleskan lipgloss di bibirnya. Ia kemudian memakai cardigan hijaunya sebelum berlari ke bawah, sudah sepuluh menit yang lalu ada yang menunggunya.

“Jesse-kun, gomen, aku kesiangan bangun,” Aika membuka pintu mobil, masuk dan mengencangkan sabuk pengamannya. Ia melihat Jesse menoleh ke arahnya, ekspresinya tidak bisa dibaca karena pemuda itu menggunakan kacamata hitam.

It’s okay, jam kuliahmu masih dua jam lagi, kan? Maaf membuatmu harus bangun pagi-pagi,” Jesse menurunkan kacamata hitamnya, kini bibirnya menyunggingkan senyum manis.

Senyum itulah yang membuat Aika selalu jatuh hati pada Jesse, ia memperhatikan Jesse mengemudi, melihat semua detail yang ada di wajah pemuda itu. Hidungnya yang mancung, raut wajahnya yang blasteran membuatnya sempurna secara lahir, setidaknya bagi Aika.

“Aika-chan, jangan melototin aku terus,” ucap Jesse sambil terkekeh, “Mau sarapan dulu? Kita mampir ke McD yaaa,”

Sadar dirinya tertangkap basah melamunkan kekasihnya itu membuatnya salah tingkah, “Errr… boleh boleh,”

Berpacaran dengan Jesse Lewis adalah keajaiban untuknya. Selama ini ia hanya sering memerhatikan pemuda itu di kelas bahasa inggris. Pemuda itu selalu tertidur saat pelajaran, mungkin karena menurutnya pelajaran bahasa inggris dasar ini terlalu mudah untuknya. Sayangnya semua mahasiswa diharuskan mengambil pelajaran itu sebagai syarat untuk naik ke semester berikutnya. Dosen pun memaklumi dan sering tidak mengindahkan keberadaan Jesse, toh kalau di test nilainya tidak pernah turun dari angka sembilan puluh. Hari itu Aika hampir terlambat masuk kelas dan duduk hampir di barisan belakang namun ternyata beberapa menit kemudian Jesse masuk dan duduk tepat di sebelahnya.

“Yo!” sapanya lalu memakai kacamata hitamnya, tidak lebih dari sepuluh menit kemudian pemuda itu tertidur. Sepanjang perkuliahan hari itu Aika tidak sanggup berkonsentrasi. Matanya terus melirik ke arah Jesse yang saat itu tertidur dengan nyenyaknya.

“Siapa namamu?” tepat setelah dosen bahasa Inggris keluar dari kelas, Jesse terbangun dan menanyakan hal itu pada Aika.

“Eh.. anou… be still heart, tenang tenang tenang, Aika mencoba berdialog dengan jantungnya yang tidak mau kompromi dengan keadaan ini, “Ki… Kimura Aika,” hampir seperti bisikan.

“Jesse Lewis desu,” ucapnya, “Yoroshiku ne, Aika-chan,”

Dan seperti orang bodoh Aika hanya mengangguk, “Un,

“Kalau begitu aku minta nomor teleponmu, boleh?”

Begitulah kejadiannya lalu Jesse tiba-tiba saja hadir dalam hidupnya. Hingga sekarang Aika sendiri tidak tau mengapa Jesse memilihnya sebagai pacar. Dengan fansnya yang meliputi satu jurusan, fakultas, bahkan mungkin satu universitas. Aika memilih tidak menanyakan alasannya, sejujurnya dia takut akan jawaban Jesse jika benar ia menanyakannya.

***

“Uhm… dimana ya?” sudah berkali-kali ia mengeluarkan dan memasukkan kembali barang-barangnya dari dalam tas, secara ajaib benda yang dicarinya sama sekali belum kelihatan, “Errgghh, aduh gimana dong?” rasanya ingin menangis, apalagi kini ia dalam keadaan harus ke kamar mandi.

Anou, Mizutani-san, ada yang bisa saya bantu?” ketika menoleh, didapatinya tetangga apartemennya yang menyapanya.

“Ini… aku tidak bisa menemukan kunciku, uhmmm,” bilang tidak? Bilang tidak? Mizutani Ruika kesulitan menentukan apa yang harus ia lakukan, “Boleh aku pinjam toiletmu?” Ruika tak lagi memikirkan gengsinya, ia sudah tidak mungkin menahannya.

Si tetangga sebelah tersenyum, “Tentu saja,”

Ruika bergegas masuk ke apartemen sebelah, ia melihat suasana yang cukup berbeda dengan apartemennya yang agak penuh dengan barang, di kamar ini semuanya tertata rapi dan walaupun ukuran ruangannya persis sama dengan miliknya, kamar ini terlihat lebih besar.

“Wow,” kini saat Ruika berada di dalam kamar mandi pria itu, benar-benar bersih. Ruika segera membereskan urusannya dan keluar dari kamar mandi setelah mencuci tangannya.

Anou, Matsumura-san, terima kasih ya atas tumpangannya,”

Pemuda itu mengangguk, “Tidak masalah, lagipula ternyata kuncimu terjatuh di tangga tadi,” pemuda bernama lengkap Matsumura Hokuto itu, harap dicatat semua nama tertera jelas di depan apartemen masing-masing, mengacungkan sebuah kunci yang diberi gantungan kunci berwarna hitam, milik Ruika, “Ini benar milikmu kan?”

Ruika mengangguk, rasanya tadi terjatuh saat ia mengambil ponselnya di tas.

“Tadinya aku ingin memberikannya namun kau kelihatannya sangat tergesa-gesa, jadi maaf ya baru aku berikan sekarang,” Hokuto menyerahkannya ke tangan Ruika.

“Iya Matsumura-san, aduh aku ini ceroboh sekali,” Ruika hanya bisa tersenyum canggung merutuki kebodohannya dan pasti mukanya tadi di depan pintu sangatlah tidak bagus untuk dilihat, “Kalau begitu, aku pamit dulu ya. Terima kasih atas tumapangannya,”

“Tidak masalah,” Hokuto ikut berdiri ketika Ruika berdiri sambil mengumpulkan barang-barang yang ia bawa.

Arigatou Matsumura-san,” Ruika sedikit membungkuk ketika keluar dari apartemen sebelah dan masuk ke apartemennya dan mendapati kamarnya yang berantakan, jauh berbeda dengan kondisi kamar sebelah.

Sudah ganteng, rapi pula, pikir Ruika. Mereka berkenalan kira-kira enam bulan lalu saat Ruika pindah ke apartemen itu. Ia terpaksa pindah ke apartemen yang lebih jauh dari kampus karena harga sewa disini lebih murah, ini pun rekomendasi dari boss tempat ia bekerja paruh waktu selama ini. Ah masih lebih ganteng boss Jesse, dan saat ia berpikir begitu ia langsung terkikik sendiri. Ruika bekerja paruh waktu di sebuah toko roti bernama Lewis Bakery. Bossnya, Jesse Lewis, seorang mahasiswa yang kebetulan membuka usaha dengan bantuan uang dari Ayahnya dan sering datang untuk memantau bisnisnya. Sejak bertemu dengan Jesse, Ruika yang awalnya kesal dengan atasannya disana pun menjadi betah karena menunggu-nunggu setiap kesempatan bisa bertemu dengan bossnya. Sayangnya sudah hampir sebulan ini Jesse belum muncul di tokonya, kemungkinan dia sibuk dan Ruika merindukannya.

***

Baginya Mizutani Ruika bukanlah orang asing. Meskipun gadis itu sama sekali tidak menyadarinya. Pertemuannya di SMA dulu mungkin sudah dilupakannya dan baginya sebenarnya sedikit menyedihkan karena setiap sore sepulang sekolah ia selalu diam-diam menunggu bis yang ditumpangi gadis itu agar leluasa untuk menatap gadis itu hingga ia turun di tempat tujuannya. Percakapan mereka pun sebenarnya hanya terjadi beberapa kali seperti saat Ruika menjatuhkan buku kamusnya atau saat Hokuto menanyakan jam pada Ruika, secara sengaja tentunya.

Namun memori tentang Hokuto sepertinya sudah dihapus dari otak Ruika sehingga ketika enam bulan lalu ia pindah ke apartemen itu, Ruika sama sekali tidak menyadarinya dan berkenalan seperti orang baru saja, Hokuto saat itu tau cinta pertamanya bahkan tidak menyadari dirinya.

Dering telepon membuyarkan lamunannya, “Ya?”

Niichan kapan pulang?” tanya suara itu tanpa basa-basi.

“Mungkin minggu depan, ngapain nelepon? Ada yang terjadi dengan ibu?” Hokuto tau ibunya sudah sering sakit dan sebenarnya ia sendiri tidak tega meninggalkannya namun karena jarak rumah dengan kampusnya terlalu jauh, ditambah Hokuto kini bekerja paruh waktu dan sering pulang malam ia memutuskan untuk sementara harus jauh dari keluarganya.

“Aku merindukanmu!”

“Ada PR yang tidak bisa kamu kerjakan ya?” Hokuto sudah hapal gelagat adik semata wayangnya ini, “Sona, kirimkan lewat chat saja,”

“Hehehe,” Matsumura Sonata, adik perempuannya yang berbeda tiga tahun darinya itu tertawa, “Aku sayang niichan!!” membuat Hokuto ikut tertawa.

“Sepertinya sudah saatnya kau punya guru les, Sona, kau sebentar lagi ujian masuk universitas kan?” Hokuto tau biayanya akan sedikit lebih banyak, tapi ia berjanji akan membuat adiknya kuliah bagaimanapun caranya.

Sonata terdengar bergumam, “Uhm… tidak usah Hoku-nii, aku kan sering belajar dengan Airin, masuk semester baru kita akan lebih sering belajar, aku janji,” pasti adiknya tidak mau merepotkannya.

“Ya sudah kita bicarakan lagi nanti ya, salam buat ibu, kau harus terus mengingatkan ibu soal obatnya,” Hokuto menutup teleponnya, sudah saatnya ia bersiap berangkat kerja.

***

Saat telepon ditutup Sonata menatap ponselnya, merasa bersalah pada kakaknya yang selama ini sudah membantu perekonomian keluarga sejak Ayahnya kabur dan tidak lagi membiayai mereka. Hokuto memang tidak pernah mengeluh, bahkan tidak memperbolehkan Sonata bekerja dan fokus pada belajarnya saja.

“Telepon siapa?” Airin, sahabatnya, ternyata sudah kembali ke bangku taman tempat mereka menunggu seseorang, renananya sore ini mereka akan berangkat ke festival.

“Kakakku,” jawabnya singkat, “Shin mana sih? Kenapa dia lama sekali?” keluh Sonata. Temannya yang bongsor itu memang selalu telat setiap mereka janjian, membuat kesal Sonata saja.

“Sebentar aku coba telepon dulu ya,” Airin mengutak atik ponselnya, namun belum sempat ia menekan tombol hijau, Morimoto Shintaro, orang yang sejak tadi mereka tunggu pun akhirnya muncul dengan wajah tidak berdosa.

“Hei!” serunya lalu tersenyum.

“Kau telat! Ayo berangkat!” Sonata sudah beranjak dari bangku, dan beberapa detik kemudian rambutnya sudah kena di acak-acak oleh Shintaro.

“Galak banget sih, hahaha,”

Dalam hati Sonata merutuki dirinya yang tidak bisa tenang ketika perlakuan se-sederhana itu membuat jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Jujur Sonata akui dirinya menyukai Shintaro, dibalik kenakalan dan keisengan Shintaro, bagi Sonata pemuda itu menarik dan selalu bisa membuatnya tertawa. Dirinya, Airin, dan Shintaro memang satu kelas sejak kelas satu dan saat mereka diberi proyek menulis sebuah essai bersama, ketiganya tiba-tiba menjadi dekat. Walaupun kini Airin berbeda kelas ketiganya masih sering hangout bareng jika ada kesempatan.

“Kita beli tiket dulu ya,” Shintaro sudah masuk ke antrian sementara Sonata dan Airin menunggu di sekitaran tempat beli tiket.

“Sona-chan,” panggil Airin, “Sona-chan suka pada Shin tidak?”

Secara refleks Sonata menoleh menatap Airin tak percaya, namun ia gengsi mengakuinya, “Ih, tentu saja tidak! Pada laki-laki nyebelin gitu? Tidak, aku tidak menyukainya!” seru Sonata heboh.

“Benarkah?” Airin kembali bertanya, dan itu membuat Sonata heran, ngapain Airin bertanya padanya hingga dua kali.

Sonata kembali mengangguk dengan canggung, “Sumpah deh, Ai-chan, lagipula kenapa harus bertanya seperti itu? Kita kan sudah berteman sejak kelas satu dan Ai-chan sudah kenal diriku,”

Seulas senyuman lega tergambar jelas dari bibir Airin, “Yokatta, kalau begitu….” belum sempat Airin meneruskan kalimatnya Shintaro kembali dengan tiga tiket di tangannya.

“Ayo masuk!! Aku lapaaarrr!!” Shintaro mengacungkan tiga tiket dan menarik tangan Airin yang hari itu dengan manisnya menggunakan yukata berwarna biru muda, sementara dengan alasan repot Sonata memilih untuk memakai busana kasual saja.

“Ngomong-ngomong, kau cantik sekali hari ini,” Sonata bersumpah bisa melihat wajah Shintaro bersemu merah muda saat mengatakannya dan begitupun Airin.

“Kalian…..” Sonata menatap Airin dan Shintaro bergantian.

“Eh, iya aku lupa bilang ya, aku berpacaran dengan Ai-chan,” Shintaro tersenyum menatap Sonata dengan pandangan bangga dan membuat Sonata hanya bisa menelan ludahnya, menahan tangis yang sudah siap tumpah ruah.

“Oh….” Sonata tiba-tiba merasa moodnya hilang seketika, “Uhm… selamat yaaa…”

“Walaupun aku dan Ai-chan pacaran, kau akan selalu jadi sahabat kami, ko, Sona-chan, jangan bengong gitu! Ayo masuk ke dalam!!”

SIALAN!! SIALAN!! SIALANN!!! Sonata merasa pertahanan dirinya sudah tidak mempan dan dalam hitungan menit tangisnya tidak mungkin ia bendung lagi.

“Aku ke toilet dulu ya! Kebelet nih!” tanpa menunggu jawaban Airin dan Shintaro, Sonata berlari dengan air mata yang sudah mengalir mengkhianati dirinya.

Sekelebat memori menghampirinya, Shintaro yang selalu menghubungi Airin untuk janjian mereka, Shintaro yang selalu mencari Airin setiap istirahat selama beberapa bulan ini, Shintaro yang setiap membicarakan Airin matanya berbinar, semuanya kini masuk akal dan walaupun Airin sahabatnya, ia tak bisa memungkiri rasa cemburu yang membakar dadanya, membuatnya sesak, ia tidak tau lagi bagaimana menghadapi Airin dan Shintaro sekarang, ia rasanya ingin tenggelam saja.

***

“Ahahaha,” terkikik sementara pandangan gadis itu terpaku pada layar ponselnya, “Ahahahaha,”

Tawa gadis itu berhenti saat ponselnya dengan semena-mena sudah berpindah tangan, “Baca apa sih? Bacaan jorok ya?” tuduh si pemuda.

“Taiga!! Kembalikaaann!!”

Kyomoto Taiga, pemuda yang dipanggil itu, mengangkat ponsel itu jauh dari jangkauan si gadis, “Bayar aku dulu dong,Hazuki,” ucapnya sambil terkekeh.

Alih-alih menjawab, Kirie Hazuki, memilih untung menyerang ketiak si pemuda membuat tangan Taiga turun dan itu berarti kesempatan Hazuki untuk merebut kembali ponselnya.

“Ih! Gak adil nih, itu curang, tau!” Taiga akhirnya memilih duduk di sebelah Hazuki, “Baca apaan sih, by the way,” rupanya Taiga masih penasaran.

Tentu saja Hazuki tidak mau mengakui bahwa apa yang sedang ia baca adalah fanfiction, tapi bukan fanfiction biasa melainkan fanfiction bergenre boys love, kesukaannya, “Kau tidak perlu tau, toh kau juga tidak akan mengerti,” ucapnya sinis.

Taiga memilih untuk mencubit pipi Hazuki lalu mengeluarkan ponselnya, tidak menghiraukan protes yang keluar dari mulut Hazuki, “Itu Juri,” Taiga melambaikan tangannya ke arah pemuda kurus yang berjalan ke arah mereka berdua.

Gomen, adikku bikin masalah dan aku jadinya telat,” Juri ikut duduk di sebelah Taiga, “Aika mana?”

“Harusnya sih dia sudah sampai, sebentar lagi mungkin,” Hazuki yang menjawab, tapi tak lama Aika muncul setelah turun dari sebuah mobil sport warna merah.

Sorry, mampir dulu beli makanan,” ucapnya setelah pamit pada Jesse dan menghampiri teman-temannya.

Kyomoto Taiga, Tanaka Juri, Kirie Hazuki dan Kimura Aika membentuk sebuah band sejak mereka masih SMA. Juri sebagai gitaris, Hazuki drummer dan Aika keyboardis sementara Taiga di dapuk sebagai vokalis karena memiliki suara paling bagus. Walaupun masih amatir, keempatnya sudah sering tampil di acara festival, mereka tidak punya mimpi yang muluk-muluk, setidaknya bisa masuk dapur rekaman walaupun impian itu belum juga terwujud.

“Kurasa sudah saatnya kita cari bassis baru,” ungkap Taiga saat keempatnya sudah masuk ke sebuah studio tempat mereka biasa berlatih.

Sebenarnya band mereka terdiri dari lima orang, Hokuto, bassis mereka mengundurkan diri karena mulai sibuk dengan kuliah dan baitonya. Mereka pun mengerti karena Hokuto memang otomatis sudah menjadi tulang punggung keluarganya sejak masih SMA dan kini, terkadang Hokuto masih sering ikut tampil jika dimintai tolong karena mereka tidak bisa menemukan additional player lain.

“Bassis baru? Kau yakin?” Hazuki memainkan stik drumnya sambil menatap ketiga sahabatnya, “Aku paling klop dengan Hoku,” keluh Hazuki.

“Aku tau, tapi kita tidak bisa terus merepotkannya. Hoku punya banyak hal yang harus ia lakukan aku tidak enak terus-terusan merepotkan dia untuk urusan band,” Taiga menatap ketiga temannya bergantian, “Bagaimana?”

“Sebenarnya aku ada rekomendasi sih, tapi… aku tidak yakin dia bisa bergabung atau tidak,” kini giliran Aika yang buka suara.

Juri menatap Aika, “Siapa? Jangan bilang pacar bule mu itu?” dengan alasan yang tidak diketahui Aika, rasa-rasanya Juri keki sekali pada Jesse sejak Aika berpacaran dengan Jesse sebulan lalu.

“Bukan, tentu saja bukan!” sanggah Aika cepat, “Aku akan menghubunginya dulu, kalau ia setuju, aku akan mengabari kalian,”

“Ya sudah, kita mulai latihan saja dulu!” Taiga berdiri dan memulai cek pada mic nya.

***

Jesse siapa Jesse?! Mendengar namanya saja hati Juri sudah panas, kenapa bisa-bisanya bule sialan itu merebut hati Aika hanya dalam waktu hitungan sebulan saja sementara dirinya yang sudah berusaha sejak kelas dua SMA sama sekali tidak dilirik oleh Aika. Ya, jujur saja Juri memang tidak pandai urusan wanita, Aika saja masuk hitungan cinta pertamanya dan mirisnya ketika Juri memutuskan untuk akhirnya menyatakan cinta pada Aika, gadis itu malah sudah jadi milik orang lain.

“Diantar siapa?” sebulan lalu, Hazuki bertanya pada Aika karena tumben sekali mereka tidak pergi bareng, dan benar saja ketika mereka menunggu Aika di tempat biasa, gadis itu datang bersama bule gadungan yang ugh, tak mau Juri akui tapi memang tampan, dan yang jelas pasti kaya melihat mobil yang dibawa si pemuda bule.

“Ini… Uhm…” Aika terlihat malu-malu, Juri jadi makin curiga.

“Jesse Lewis,” dengan penyebutan sempurna, “Aku pacarnya Aika-chan,”

Lemaslah seluruh tubuh Juri, dan sejak saat itu ia selalu mencoba meyakinkan Aika kalau si pemuda bule bukanlah pria yang baik untuknya secara tidak langsung pastinya. Juri padahal sebelumnya yakin bahwa jika ia menyatakan cintanya, Aika pasti menerimanya. Orang yang selalu mau menemaninya ke toko buku? Juri. Yang selalu mengangkat telepon jam berapapun saat Aika kesepian? Juri. Tapi gadis itu ternyata memang tidak peka dan ia mulai merasa putus asa sekarang. Bagaimana lagi caranya membuat Aika berpaling kepadanya?

“Kau mau ikut ke apartemen Hokuto malam ini?” suara Taiga membuyarkan lamunan Juri.

Juri menggeleng, “Tidak malam ini, aku harus kerja, shiftku malam,” diantara ketiga temannya Juri memang satu-satunya yang tidak kuliah. Juri mengambil sekolah keahlian agar bisa sekolah sambil bekerja. Keadaan rumahnya yang tidak kondusif membuatnya terpaksa memilih jalur tersebut namun ia tidak pernah minder karena teman-temannya pun menerimanya apa adanya dan tidak pernah membeda-bedakannya.

“Baiklah, aku berangkat kuliah dulu,” Taiga naik ke bis sementara Juri berjalan ke arah berlawanan.

“Juri!!” saat Juri menoleh ternyata Hazuki mengejarnya.

“Tidak ada kuliah?” tanya Juri saat Hazuki mensejajarkan langkah dengannya.

Hazuki menggeleng, “Tidak ada sampai siang nanti, makan dulu yuk! Aku masih lapar,” keluh Hazuki memegangi perutnya.

Juri tertawa,gadis tomboy ini rasanya memang selalu lapar, “Kapan sih Kirie Hazuki tidak lapar?” godanya menjawil pipi Hazuki.

Sambil menggelembungkan pipinya Hazuki berpikir, “Uhmmm.. mungkin kalau aku tidur,”

Juri tidak pura-pura tidak tau, toh Hazuki sebenarnya sudah pernah menyatakan cintanya pada Juri.

“Aku suka pada Juri yang pekerja keras! Aku mau terus memberikan semangat padamu!” katanya, kelas tiga SMA, tepat hari kelulusan dan saat itu Hazuki memintanya berbicara berdua di atap sekolah.

Satu-satunya orang yang tau kenyataannya bahwa ia menyukai Aika pun hanya Hazuki. Sejak Juri menolaknya Hazuki tetap menjadi teman terbaiknya, tetap memberinya support tanpa pamrih bahkan terkadang Juri berpikir mungkinkah lebih baik jika ia memilih Hazuki dan bukannya Aika. Tapi berapa kali Juri mencoba melihat sisi lain Hazuki, pikirannya tetap pada Aika. Tidak adil bagi Hazuki jika Juri hanya menjadikannya pelarian.

“Makan berat? Ngemil?” mereka berjalan di sepanjang pertokoan yang terbentang di dekat studio, Hazuki terlihat selalu bahagia melihat makanan.

“Kurasa aku mau cake saja, bagaimana?”

Juri hanya mengangguk, mengikuti langkah Hazuki yang masuk ke dalam sebuah cafe bernuansa eropa, memilihkan kue dan memesan kopi kesukaan Juri sementara si pemuda hanya duduk di dekat jendela menunggu Hazuki membawa pesanannya.

“Sudah kubilang kali ini aku yang traktir!” ucap Hazuki ketika ia kembali menyimpan nampan berisikan dua cheese cake dan dua cangkir kopi hitam.

Juri hanya mengangguk seadanya, “Baiklah, terima kasih, Hazuki-chan,” Juri mengatakannya untuk menggoda Hazuki yang alergi sekali dipanggil dengan sebutan –chan, entah kenapa.

Dengan muka masam Hazuki hanya memutar bola matanya, duduk di sebelah Juri dan mulai menikmati cheese cake nya, “Aku tau suasana hatimu tidak pernah baik sejak Aika-chan pacaran, tapi kupikir lebih baik kau jangan terlalu memikirkannya,”

Juri tidak menjawab, “Kurasa Aika-chan hanya tidak peka saja terhadap perasaanmu, jika ia tau pasti Aika akan lebih memilihmu,”

“Dibandingkan pria bule bermobil sport, kau pikir aku punya kesempatan?” Juri terkekeh, dipikir-pikir Hazuki ini polos sekali dan membuat Juri gemas sendiri.

Hazuki mengangguk, “Karena aku tau, Juri pasti bisa lebih menjaga Aika-chan,” menunjuk Juri dengan sendok ­cake nya, Hazuki bergumam, “Karena jika Juri bahagia, aku juga bahagia,”

Kali ini mungkin lebih baik Juri pura-pura tidak mendnegar gumaman pelan itu.

***

Setelah perjuangannya melawan kantuk di Perpustakaan kampus yang pastinya sunyi senyap begini, Yua berhasil membereskan tugasnya yang gagal beres gara-gara Kouchi semalam. Dengan lega Yua segera mengirimkannya kepada dosennya via e-mail dan menutup laptopnya, ia harus cari kopi sebelum mulai baito sore ini. Bahaya jika ia melayani pembeli setengah mengantuk begini.

“Kopi… kopi…” Yua bergumam sambil membereskan barang-barangnya, melangkah keluar perpustakaan disambut oleh hawa yang cukup panas, musim panas sudah hampir tiba, memberikan sensasi tidak nyaman pada kulitnya.

“Ichigo-san!” sebuah suara memanggilnya, ternyata teman slash bossnya. Well, tepatnya sih anak bossnya, tempat dia bekerja paruh waktu.

“Kimura-san,” Yua harus menyapanya balik dengan senyuman manis, walaupun moodnya tidak sedang terlalu bagus.

“Syukurlah aku bertemu denganmu di sini,” ucap Aika, “Bisa pertemukan aku dengan temanmu yang kau ceritakan bisa main bass itu?”

“Main bass?”

“Iya.. ingat kan Ichigo-san menceritakannya di dapur beberapa malam yang lalu,”

Kimura Aika ini, anak pemilik restoran mewah yang sering sekali berkeliaran di dapur untuk berbicara dengan pegawai-pegawai ayahnya. Aika pernah bilang ia suka dengan suasana dapur dan karena itulah mereka bisa berteman dan mengobrol apalagi ternyata mereka satu kampus walaupun beda jurusan.

“Oh! Temanku, iya… memangnya ada apa?”

Aika mensejajarkan langkahnya dengan Yua, “Band kami butuh bassis baru, siapa tau temanmu bisa menggantikan bassis kami, bagaimana?”

“Yua!!”

Panjang umur, temannya yang Aika minta malah menghampiri mereka sekarang, “Kimura-san, ini Kouchi Yugo, temanku yang kubilang bisa main bass itu,”

“Maksudmu?” Kouchi yang baru saja sampai dan sebenarnya berniat untuk meminjam laptop milik Yua itu jadi kebingungan.

“Ini Kimura Aika, bandnya sedang butuh pemain bass baru, kau kan bisa main bass, iya kan?” padahal tidak perlu bertanya pun Yua sebenarnya tau persis.

Kouchi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Iya sih, gak jago-jago amat sih,”

Aika tersenyum, “Begini saja, jumat sore kau datang saja ke studio ini,” Aika memberikan sebuah kartu nama berisikan alamat sebuah studio musik, “Biarkan teman-temanku bertemu dulu denganmu, setelah itu baru kita tentukan selanjutnya, gimana?”

Kouchi mengangguk cepat, “Baiklah,” sejujurnya dia harus cepat-cepat kembali mengerjakan presentasinya, “Yu… laptopmu dong,” wajahnya segera berbalik ke arah Yua.

“Hah?”

“Laptopmu… duh!” Kouchi menyambar tas laptop milik Yua, “Nnati aku bawa ke apartemen, pinjam duluuuu!!” Kouchi berlalu sambil berlari-lari tanpa menghiraukan protes dari Yua.

“Maafkan aku soal yang tadi,” ucap Yua ketika Kouchi benar-benar sudah menghilang dari pandangan keduanya.

Aika malah tertawa, “Tidak apa-apa, terima kasih ya Ichigo-san, kalau begitu aku pamit masuk kelas dulu,”

Yua mengerenyitkan dahinya, tiba-tiba kantuk dan rasa pusing yang menjalar kembali lagi, dengan gontai ia segera melanjutkan langkahnya ke kantin kampus. Ia butuh kafein, penyelamat hidupnya. Dalam hitungan jam ia harus segera meluncur ke tempat kerja dan dengan modal tidur satu jam semalam tidak akan membuatnya terlihat fresh.

Capucinno nya satu,” Yua menunduk mengambil uang di dalam dompetnya.

“Dingin atau panas?” tanya si pelayan dari balik meja kasir dan ketika Yua menoleh untuk menjawab, ia terpana dengan wajah si pelayan yang…. uhm… Yua tidak bisa mendefinisikannya. Tampan sekaligus cantik, baru kali ini Yua melihatnya, mungkin pegawai baru disini.

“Nona? Bagaimana?”

“Eh… uhm… dingin saja dingin,” jawabnya cepat.

Mata Yua secara otomatis beralih ke dada si pemuda dimana sebuah nametag tergantung di sana. Kyomoto. Yua yakin, kantin ini akan jadi tempat favoritenya, tempat dimana ia bisa berlama-lama menatap wajah indah si pemuda bernama Kyomoto.

 

To Be Continue~

Gimana? Lanjut gak nih? AHAHAHA… Kalo gajebo gak lanjut aja ya…#plakk

7 thoughts on “[Multichapter] Little Things Called Love (#1)

  1. magentaclover

    Huaaaa nice banget kak din xD aku suka kisah mereka saling berhubungan. Penasaran sama juri, aika, jesse (lol) walau udah nebak2 sih tapi lebih penasaran sama si yua kayak dia happy hidupnya wkwkwk.

    Btw, oc ku di sini elit amat anak pemilik restoran sama anak band xD

    Buat komen yg lain sih tadi aku nemu beberapa typo hehe, tapi ga terlalu ganggu sih ^^ keep writing kak asap ya!!!

    Reply
  2. elsaindahmustika

    “Aku sayang niichan!!”, duh kak din tau aja sih aku sayang Hokunii<3 *abaikan* aku sukaaa ceritanya saling nyambung gituu, trus trus sona ngena banget itu nyeseknya pfttt:"v jadi penasaran gimana tar jadinya wkwk lanjut terus kakkkk!!

    *ini komen gak mutu banget

    Reply
  3. Khalangi Devian

    ahahahaha, diawali kisahku dan ditutup kisahku (yua). sankyuu kak din :*
    ditunggu kelanjutan bunga2 asmara yua-taiga /gaaaak/

    aku suka banget karakter hazuki >_< boleh deh saingan sama dia /?/ *no spoiler* hahaha

    lanjutkan kak din!!!!!!

    Reply
  4. decill

    Diniiiiii!!!! Seruuuuuu!!! Cepet lanjut hahahahahaah penasaran sm si dejur sm sonata duh XD trus s hazuki itu kyanya lempeng banget anaknya hahahaha~ baru skrg aku baca ff lg setelah bertaun2 lamanya gak baca wwwwww lanjut cepet!!!
    Komen nya udah gitu aja XD

    Reply
  5. Abe Reina (Writer Guest)

    Kyaaaakkk bunda suki bngt sm crita ini *gelindingan*
    Meskipun aku ga disini, tp ngebayangin y itu sesuatu *plakk*

    Udh sipp bunda ditunggu kelanjutannya ^^

    Reply

Leave a reply to magentaclover Cancel reply