[Minichapter] Kimi Ni Attraction (Chapter 4) -END-

Kimi Ni Attraction
By. Dinchan
Type      : Minichapter (Chapter 4)
Genre   : Romance, School Life
Rating   : PG-13, R
Starring: Chinen Yuri, Inoo Kei, Yaotome Hikaru (Hey! Say! JUMP); Yabu Raura, Ueda Kaho (OC)
Disclaimer : I don’t own all characters here. Hey! Say! JUMP members are under Johnnys & Associates; Yabu Raura belongs to launyan10 and Ueda Kaho is my original character.

COMMENTS ARE LOVE. It’s just a fiction please read it happily. This fanfiction is launyan10’s requests, and I wrote it as good as I can.

“Ohayou,” Chinen menyunggingkan senyum terbaiknya kepada Raura yang duduk bersebelahan dengannya, mereka sedang sarapan pagi.

“Ohayou, Senpai,” Raura hanya sanggup tersenyum seadanya, debar jantungnya memungkinkan dirinya akan terkena serangan jantung sekarang juga.

Lokasi restoran penginapan ini kebetulan berada di dekat kolam renang, suasananya pun sangat tenang, mungkin karena ini masih agak pagi dan karena belum liburan musim panas, penginapan ini hanya dihuni oleh beberapa tamu dan mereka saja.

“Tidur nyenyak?” tanya Chinen.

Raura mengangguk, “Bagaimana dengan senpai?”

“Berkatmu, aku tidur nyenyak,”

“Eh?” mata Raura membulat.

Chinen terkekeh, “Sudah jangan dipikirkan,” lalu pemuda itu beranjak dari meja, menuju ke tempat makanan disajikan, sementara Raura memandangi pundung Chinen yang semena-mena ditampilkannya pagi ini. Harusnya pagi yang cerah, bukan pagi yang gerah gara-gara punggung Chinen senpai yang bidang itu.

Dengan sedikit gugup Raura beranjak juga, bermaksud mengambil segelas jus jeruk untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, efek menelan ludah yang terlalu sering, lagi-lagi ini salah Chinen-senpai.

“Aarrgghh!! Hati-hati!!” dan sebelum Raura sempat menghindar, kakinya terpeleset, tubuhnya terjun bebas ke dalam kolam renang. Raura masih bisa mendengar suara tertawaan dari beberapa orang, ia memfokuskan diri mencari pijakan. ‘Jangan panik!! Jangan… kyaaaaa mana dasar kolamnya??!!’ Raura mulai menendang-nendang kakinya namun karena ia panik, ia sama sekali tak maju, nafasnya mulai tercekat, ia mencoba mengulurkan tangannya ke atas dan kini telinganya mulai berdengung, gelembung-gelembung air terlihat di depan matanya, kemudian gelap.

Setelah beberapa menit, Raura belum juga muncul ke permukaan, menimbulkan seidkit kepanikan di pinggir kolam, “Raura-chan?!”

Belum sempat Chinen bertindak, ia melihat Inoo-sensei masuk ke dalam kolam, menarik tubuh Raura yang sudah lemas. Chinen berlari ke pinggir kolam untuk membantu Inoo mengeluarkan Raura dari dalam kolam.

“Sensei!! Raura tak bernafas!!”

“Chinen! CPR!” namun Chinen tak bergerak. Inoo mendorong Chinen, “Minggir!” Inoo memompa jantung Raura, namun gadis itu belum juga bergerak, Inoo membuka mulut Raura dan memberikan nafas buatan, pompa jantung-nafas buatan hingga beberapa saat kemudian Raura terbatuk, air keluar dari mulutnya.

Inoo mundur, merasa lega Raura tertolong juga, “Raura-chan!!” Inoo mengguncang pelan bahu Raura, “Kau baik-baik saja?” Raura sudah bernafas, namun tidak merespon mungkin karena masih shock. Inoo pun memapah tubuh Raura, “Ueda-sensei, kita ke kamar kalian,”

Ueda-sensei segera mengangguk dan mengikuti Inoo, sementara Chinen hanya bisa terdiam, sepersekian detik tadi bisa saja Raura meninggal, sepersekian detik tadi Chinen merasa dirinya lemas sekali, tidak terbayang jika tidak bisa melihat Raura lagi.

Tunggu,

Ada apa dengan dirinya?

Tidak!

Dia baru saja patah hati, kan? Tidak masuk akal kalau dia jatuh cinta pada Raura.

***

Raura menatap langit-langit kamarnya. Sudah dua hari sejak kejadian tenggelam di kolam renang penginapan, dan ia masih belum masuk ke sekolah karena diberikan izin khususoleh pihak sekolah. Raura sudah merasa enakan, namun masih belum ingin beranjak dari kasurnya. Katanya Inoo memberikan nafas buatan untuknya, menurut Ueda-sensei ketika ia bangun di kamar penginapan.

Nafas buatan.

Mulut ke mulut.

Sialan!! Raura jadi tidak bisa berhenti menatap bibir Inoo selama perjalanan pulang ke Tokyo keesokan harinya.

“Sampai kapan mau tidur?” Kota membuka pintu kamar Raura, dibalas oleh lemparan bantal oleh Raura, yang langsung ditepis oleh Kota.

“Kou-chan!! Jangan masuk kamar gadis sembarangan!!”

Kota hanya meringis, “Sudahlah, ayo sarapan!”

Raura bangkit dari kasurnya dengan setengah malas, duduk di meja makan sementara Kota menghidangkan sepiring omurice dan segelas susu untuk Raura.

“Lain kali, jangan berenang kalau kolamnya dalam,” ucap Kota sambil menyesap kopi di pinggir kitchen set, menatap Raura.

“Aku terpeleset tau!”

Kota berbalik, menutup kotak bekal miliknya, “Jangan buat aku khawatir!”

Seketika Raura terdiam, ia tidak tau Kota punya sisi seperti ini juga, maka Raura tidak bisa menahan tawanya.

“Aku tidak bercanda Yabu Raura!!” suara Kota benar-benar serius.

Akhirnya Raura mengangguk, “Wakatta,”

“Ya sudah. Aku berangkat dulu. Ada makanan di kulkas, kau tinggal memanaskannya,” Kota mengambil kotak bekalnya dan beranjak dari dapur.

“Arigatou,” namun Raura mengucapkannya dengan pelan, “Sudah mengkhawatirkan aku,”

***

Chinen berjalan di lorong kelas dua, tentu saja kehadiran seorang Chinen Yuri disana pastinya membuat banyak orang bertanya-tanya. Apa yang dilakukan seorang Fantastic Four di lorong kelas dua? Banyak dari siswi perempuan mengintip dan berbisik-bisik saat Chinen melewati kelas mereka. Sementara itu Chinen yang menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, tersenyum ramah pada setiap siswi yang memanggilnya.

“Chinen senpai!” tipe sapaan dengan nada suara tinggi dan melengking.

Chinen menoleh, lalu tersenyum. Bisa ditebak reaksi selanjutnya adalah teriakan histeris dari gadis-gadis tersebut.

Langkah Chinen terhenti di depan kelas 2B, “Ada Yabu Raura?”

Sonoko yang kebetulan duduk di dekat pintu menjawab, “Anou senpai, dia sakit, tidak masuk sekolah!”

“Baiklah, terima kasih,” dan sebelum pergi Chinen tidak lupa memberikan senyuman terbaiknya.

Chinen mengeluarkan ponselnya, mencoba kembali mengirimkan pesan kepada Raura. Ia sudah mencobanya sejak semalam, namun hasilnya nihil, Raura tidak menjawabnya.

Me: Raura-chan, kau baik-baik saja?

Sambil berjalan kembali menuju kelasnya ia membuka layar ponselnya, read, berarti Raura sudah membaca pesannya semalam dan pesannya sekarang, tapi tidak ada tanda-tanda balasan dari Raura.

“Chii-chan, mencari pacarmu?” jari Yamada sudah mampir di pipi Chinen yang masih menunduk melihat ponselnya.

“Bukan begitu! Aku hanya khawatir,”

“Kau lebih baik ke rumahnya, Chii,” kini suara Rei yang menghampirinya.

“Ke rumahnya? Buat apa?!”

“Dia sakit parah, dia bilang dia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya,” ucap Rei lagi.

Chinen langsung menoleh, dengan wajah panik dan serius, “Benarkah?”

Rei mengangguk dengan yakin, “Aku meneleponnya kemarin malam,”

“Tapi, apa dia benar-benar mau menemuiku?” ucap Chinen diikuti dengan gerakan kepalanya yang semakin menunduk, merasa sangat bingung dan kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Raura sedang menyendokkan es krimnya untuk yang keberapa puluh kalinya, hingga satu toples es krim rasa green tea itu hampir kosong dan bahkan ia harus mengeruk pinggiran toplesnya karena merasa masih ingin makan es krim, ketika ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Dengan sedikit terpaksa ia membuka pintu, dan kaget dengan apa yang ia lihat di depan pintu.

“Yo!”

“Ngapain ke sini?!” seru Raura kaget, tiba-tiba ia mengingat cerita soal nafas buatan, bibir Inoo! Bibir Inoo!!

Raura mengerjapkan mata beberapa kali, berharap ingatan yang sebenarnya tidak begitu jelas di otaknya segera memudar.

“Tentu saja menjenguk muridku tercinta, yang dengan bodohnya berenang padahal tidak bisa berenang,” ucapnya sambil tersenyum.

SIALLL!!! Bibir Inoo-Sensei!!! Hati Raura menjerit membayangkan bibir itu, bibir yang kini tersenyum itu pernah menyentuh bibirnya!

Inoo-sensei, dengan senyuman khasnya dan cara bicara khasnya yang tetap terdengar menyebalkan, bahkan terdengar makin menyebalkan sekarang. Mungkin Inoo Kei ini sudah terbiasa membuat orang kesal di masa lalunya, sehingga ia senang sekali membuat Raura kesal.

“Aku baik-baik saja dan aku akan masuk sekolah besok!” ucap Raura sambil menyunggingkan senyum yang tentu saja terpaksa.

“Souka, good! Tapi apa kau mau membiarkan Sensei berdiri di depan rumah begini?”

“Kau hanya mau menjengukku kan? Dan seperti yang sensei lihat, aku baik-baik saja,” balas Raura, bermaksud menutup pintu namun gerakan Inoo lebih cepat menahan pintu agar tidak tertutup.

Ojamashimasu,” tanpa mengindahkan protes Raura, Inoo masuk ke dalam rumah keluarga Yabu.

Raura hanya mampu menghembuskan nafas berat, “Tidak mengajar, sensei?”

Inoo menggeleng, “Aku dapat izin khusus dari sekolah, kau belum makan, kan?”

“Belum, tapi aku punya makanan, kakakku yang memasak buatku,”

“Good! Ayo kita makan!!” ucap Inoo tanpa malu-malu.

“Eeehh? Kau ikut makan?”

“Tentu saja!!” Inoo mengacungkan jempolnya ke arah Raura, “Aku lapar!!”

***

Tanpa direncanakan, Raura dan Inoo terlibat percakapan yang cukup mengasyikan. Dari film kesukaan hingga bertengkar soal mobil mana yang lebih bagus. Ketika sadar, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan Inoo pun akhirnya memutuskan untuk pulang.

“Terima kasih untuk hari ini, Raura-chan!!”

“Ya ya ya, lain kali bawa makanan sendiri ya! Kau menghabiskan jatah Kou-chan!” seru Raura.

Inoo terkekeh, “Jangan pelit gitu dong, aku kan hanya seorang guru single yang bahkan masih training,” ucapnya.

Raura jadi ingat kalau dia harus membeli beberapa bahan makanan untuk nanti malam, maka ia pun memutuskan untuk belanja sambil mengantarkan gurunya yang kurang ajar itu ke halte bis.

“Manis sekali Raura-chan mau mengantar aku,” ujar Inoo.

“Tidak! Ini sekalian saja aku akan ke minimarket!”

Gurunya itu hanya tertawa saat melihat wajah Raura yang kini terihat panik.

“Tidak usah panik begitu! Hati-hati kau bisa jatuh cinta padaku, loh!” Inoo mengatakannya tepat saat ia naik ke bis. Membuat Raura hanya bisa menelan amarahnya yang sudah ada di ubun-ubun.

Jujur saja, walaupun Inoo itu menyebalkan, tapi dia selalu memberi Raura perasaan nyaman. Berbeda sekali dengan Chinen yang membuatnya merasakan senang dan sedih terus menerus. Dua kali Chinen memeluknya, namun dua-duanya hanya karena Chinen sedang sedih. Bahkan ciuman pertama Raura yang dicuri oleh Chinen pun ternyata tidak berarti apa-apa bagi pemuda itu sementara Raura hanya merasakan debaran jantung itu sendirian.

“Raura-chan?” panggilan itu membuat Raura tersadar dari lamunannya, orang yang sednag ia pikirkan tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Senpai?”

“Bukannya kamu sakit? Eh?” Chinen tampak bingung.

“Sakit? Eh… iya sih, maksudku karena kejadian di Okinawa, sekolah memberiku istirahat sheari ini,” kata Raura masih dengan ekspresi kaget.

Chinen mendesah, lalu tiba-tiba ia tersenyum, memamerkan gigi kelincinya, “Yokatta, Rei bilang kau sakit keras dan tidak bisa bangun dari tempat tidur!”

“Rei-senpai?”

“Iya dia meneleponmu…”

“Tapi aku tidak punya nomor telepon Rei-senpai,”

“Haaaaa?! Sialan! Mereka membohongiku!!”

“Tapi senpai, walaupun aku sakit, kau tidak perlu repot-repot menjenguk aku,” karena aku bukan siapa-siapa, hanya adik kelasmu, tambah Raura dalam hati.

Chinen mundur dan duduk di bangku yang sudah di sediakan oleh halte, ia menepuk bangku kosong di sebelahnya, “duduk sini,” katanya. Raura menurut dan duduk di sebelah Chinen.

Seluruh syaraf Raura tiba-tiba menegang dan waspada dengan apa yang akan dilakukan Chinen. Terakhir kali ia duduk di sebelah Chinen, pemuda itu memeluknya. Sebelumnya, Chinen menciumnya, memberikan pengalaman tak terlupakan bagi Raura. Ia tak ingin lagi merasa dipencundangi oleh Chinen. Ia sudah memilih untuk berhenti menaiki jet coaster yang ditawarkan oleh seorang Chinen Yuri.

“Raura-chan,” sejurus dengan suara Chinen yang terdengar lembut, tangan Chinen terulur, merayap menggenggam tangan Raura.

Sekujur tubuh Raura berteriak waspada.

WARNING!! WARNING!! DIA AKAN MENYENTUHMU!!

“Ah! Aku harus belanja!! Sebentar lagi kakakku pulang!” Raura berdiri dan melepaskan genggaman tangan Chinen, meninggalkan pemuda itu, berharap Chinen tidak lagi memanggilnya. Jangan jangan jangan, ucap Raura dalam hati.

“Raura-chan!! Sebentar!!” terdengar derap kaki Chinen mendekatinya dengan terburu-buru, Raura ingin berlari tapi kakinya terasa lemas,dan tangan chinen berhasil menangkap lengannya, membalik tubuh Raura untuk menghadapnya. Terpaan perasaan yang dirasakan Raura tiba-tiba berkumpul jadi satu, ia ingin menangis, memohon pada Chinen untuk tidak lagi mempermainkan perasaanya seperti ini. Bahwa ini sangat sakit, ia tak ingin berharap lagi pada Chinen.

“Tadi aku lihat ada Inoo-sensei, ada urusan apa dia denganmu?” eh? Kenapa suara Chinen terdengar cemburu?

Raura menghempaskan tangan Chinen, “Aku dan Sensei… aku suka pada Sensei!”

BOHONG!! DASAR PEMBOHONG!! Suara gemuruh itu memenuhi otaknya, tapi ia tidak punya alasan lain yang lebih masuk akal sekarang. Untuk menjauhkan Chinen darinya.

***

Rasanya aneh. Ketika kamu merasa bahwa apa yang kau lakukan benar, tapi hatimu sendiri berkata lain. Aneh ketika mulutmu dan logikamu berkata bahwa kau tidak lagi peduli dengan seseorang, hatimu bahkan mengingatnya lebih sering. Raura merasa sakit lagi. Sakit dan ia tak yakin akan ada obat yang tepat untuknya saat ini.

Masih jelas di ingatan Raura ekspresi wajah Chinen saat mendengar Raura mengatakan bahwa ia menyukai Inoo-sensei. Hanya Tuhan yang tau apa yang dipikirkan Chinen, namun ekspresi itu, wajahnya sedih dan kecewa. Dengan logikanya Raura bersorak! Akhirnya ia bisa membuat Chinen sedih, tapi hatinya bertanya-tanya, mengapa Chinen sedih? Apakah ia kini sudah menyukai Raura? Dan Raura tidak menyadarinya?

“Ohayou gozaimaaassuuu!!” Inoo-sensei berdiri di depan kelas, mulai mengabsen satu persatu murid, Raura hanya melamun, menatap ke arah lapangan, ternyata ia malah menangkap sosok Chinen yang sedang olahraga.

“Yabu Raura! Yabu Raura!!”

Kesadaran Raura kembali ketika merasakan tangan Sonoko menyenggolnya.

“Hai!” jawab Raura cepat.

Inoo berjalan mendekati kursi Raura, “Raura-chaannn, jangan melamun terus! Aku tau sebentar lagi liburan musim panas, tapi kalian semua harus tetap konsentrasi ya!” ucap Inoo, dan saat kembali ke depan ia mengedipkan sebelah matanya, disambut teriakan histeris para siswi – minus Raura – yang menganggap itu adalah hal konyol.

Ah ya! Sudah hampir liburan musim panas. Berarti sudah beberapa minggu ia tidak bicara dengan Chinen. Bahkan tidak mendapatkan pesan dari senpainya itu. Sebenarnya ada pesan yang masuk ke Raura malam setelah ia bilang bahwa ia menyukai Inoo-sensei.

Chinen hanya bilang ‘Walaupun aku tidak pernah melakukan apapun untukmu, terima kasih atas semuanya, Raura-chan!’

.

Sigh

“Jangan suka membuang nafas berat, katanya hidupmu akan semakin pendek loh!” lagi-lagi makan siangnya yang damai terganggu oleh sosok Inoo yang seakan mengikutinya kemana saja, termasuk saat-saat dimana Raura ingin sendirian.

URUSAI!” orang ini benar-benar guru bukan sih? Kenapa dia senang sekali berkomentar soal dirinya?

Inoo mendekati Raura dan mencomot dua buah sosis, “Itadakimasu!

Sebagai catatan, karena Inoo sudah sering mengambil makan siangnya, Raura sudah berhenti mengeluh dan marah-marah jika Inoo melakukannya. Kadang-kadang malah Raura meminta sosis atau telur lebih kepada Kota, sebagai jatah Inoo.

“Tadi kau melamun apakah karena Chinen-senpai?” tangan Inoo terulur dan mejari telunjuknya menyentuh pipi Raura.

“Bukan urusan Sensei!” ucap Raura kesal.

“Urusanku tau…kau melamun di kelasku,” kata Inoo, dan pria cantik itu duduk di sbelah Raura, “Apakah tidak apa-apa tidak mengatakan perasaanmu pada Chinen-kun?”

Raura tidak menjawab. Urusannya dengan Chinen sudah selesai. Pemuda itu sudah beranggapan bahwa ia menyukai Inoo-sensei.

“Cinta yang tidak tersampaikan akan membuatmu menyesal, lho! Kau harus mengatakannya!”

Raura menoleh, menatap Inoo dengan aneh.

“Itu kata orang-orang loh! Jya… gochisousama deshita, aku pergi dulu!” Inoo beranjak dan meninggalkan Raura sendirian.

***

Liburan musim panas.

Waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa, tak terkecuali Raura, namun di lain sisi, ini berarti PR yang menumpuk, segudang pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru-gurunya, dalam rangka merusak liburannya.

“Tahun ini kita tidak liburan?” Raura yang masih setengah tertidur, keluar dari kamarnya, menuju ke dapur. Bangun tidur, ia merasa lapar.

Kota mendesah menatap adiknya yang masih memakai piyama di siang bolong begini, “Aku magang, dan Ayah sibuk, jadi… kenapa kau tidak membuat dirimu berguna juga?”

“Ayolah Kou-chan,” Kota tidak berhasil membuat Raura memanggilnya Nii-chan sejak kecil, “Jangan bawel pagi-pagi,”

“Pagi? Ayolah Raura… kau bertugas membersihkan rumah selama aku magang, ya?”

“HAAAHH?”

“Aku akan kerja mulai besok. Dari jam delapan pagi hingga jam enam sore. Itu artinya, kau yang beres-beres, membeli bahan makanan, bayar semua tagihan, dan lain-lain,” Kota mengatakannya sambil menyerahkan segelas susu dan sepiring sandwich.

“Aku harus masak juga?”

Kota menggeleng, “Tidak usah. Aku masih sayang dengan perutku, biar aku yang masak. Kecuali aku lembur, kau harus masak untuk dirimu sendiri!”

Raura mendesah. Yabu Kota, si perusak liburan nomor satu selain PR nya.

.

Dan inilah Raura sekarang, naik bis untuk berangkat ke supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga, dengan daftar belanjaan yang bisa membuat mata Raura sakit. Pertama, karena daftar itu sangat panjang, artinya akan membutuhkan waktu lama untuk memilih semuanya, kedua, ini tulisan tangan Kota.

“Oh! Hisashiburi!” Raura menoleh.

Tuhan lagi-lagi mengujinya. Di cuaca panas seperti ini, kenapa ada dia?

“Chinen-senpai?”

“Mau kemana?” tanya Chinen.

“Supermarket,” jawab Raura cepat.

Dan setelah berminggu-minggu tidak bertemu, Raura tetap merasakan jantungnya mau copot saat Chinen berada di dekatnya.

Ini tidak adil.

“Senpai sendiri?”

“Kau mau menemaniku sebentar?”

“Eh?”

Chinen menarik Raura dan ketika bis berhenti, mereka turun. Chinen tidak menjelaskan apapun hingga mereka sampai di depan sebuah hotel besar. Raura hanya menatap Chinen dengan tanda tanya besar di otaknya. Apa-apaan ini? Kenapa hotel?!

“Hari ini Kaho-chan akan menikah, harusnya sebentar lagi resepsinya akan dimulai,”

Ueda-sensei menikah hari ini? Oh! Jadi ini hotel tempat resepsi pernikahan Ueda-sensei dilangsungkan. Raura jadi malu sendiri berpikiran macam-macam.

“Aku selalu berpikir bahwa aku jatuh cinta pada Kaho, benar-benar jatuh cinta,”

Raura mendengarkan.

“Tapi saat kau tenggelam, kau ingat? Saat di Okinawa, aku baru sadar kalau justru aku lebih takut kehilanganmu,”

“STOP! STOP!!” Raura berbalik, ia berlari dari Chinen. Ia tak ingin mendengarkan Chinen, ia tak mau lagi naik jet coaster itu. Merasakan adrenalin naik ke kepalanya dan membuatnya terus menerus merasa senang dan pusing di waktu bersamaan. Ia tidak mau.

“Kau itu lambat! Kau tau kan?” Chinen tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya.

Chinen menarik Raura mendekat ke arahnya. Menempel ke dadanya. Raura bisa saja menajuhkan dirinya sekarang, tapi dia tidak mau. Raura memilih untuk menunggu.

Jangan lari lagi, bisik pemuda itu, terlalu lirih hingga nyaris tak terdengar. Jari-jari panjang itu menyentuh pipi Raura dengan hati-hati. Sebelum Raura sempat terpikir untuk mencegah hal selanjutnya yang paling mungkin terjadi… Chinen mendekatkan wajahnya dan mencium Raura. Bibir Chinen menyentuh bibir Raura, awalnya terasa lembut dan malu-malu seperti sapaan hangat sinar matahari pagi. Ketika merasakan ujung lidah Chinen di bibirnya, Raura langsung membukakan mulut untuknya. Membiarkan cowok itu melumat bibirnya dengan penuh gairah, menjelajahi mulutnya dengan antusiasme yang tak pernah Raura perkirakan. Ia tak pernah tau bahwa dirinya bisa bereaksi seperti ini.

Sedetik kemudian Chinen berhenti, mengambil nafas dan Raura pun merasakan ia butuh udara. Panasnya musim panas terasa hingga ia bisa merasakan keringat Chinen di telapak tangannya. Chinen memeluknya, dengan erat, ia tak tau lagi harus bereaksi seperti apa.

“Aku tak tau bagaimana perasaanmu, tapi lewat ciuman tadi, aku bisa bilang kau tidak membenciku!”

Tentu saja! Bodoh! Seru Raura dalam hati.

“Dan aku tak tau bagaimana perasaanmu kepada Inoo-sensei, tapi… aku menyukaimu, Raura-chan, dan aku ingin kau tau bahwa aku tidak main-main lagi,”

Raura tidak tahan lagi, butir-butir air mata tiba-tiba saja membasahi pipinya, “Aku takut, Senpai…” takut jika ia harus kembali terluka karena sangat menyukai Chinen, dan Chinen akan meninggalkannya, dan Chinen akan kembali membuatnya sakit hati.

“Jangan takut,” suara Chinen begitu tegas, Chinen mengusapkan jempolnya di pipi Raura, menghapus jejak air mata yang sempat jatuh, “Kumohon, beri aku kesempatan,”

***

Seperti mimpi, Chinen menjadi kekasihnya. Raura tidak bisa membayangkan hal yang lebih baik terjadi di musim panasnya kali ini. Walaupun Chinen bekerja paruh waktu di musim panas kali ini, tapi selalu menyempatkan diri untuk jalan-jalan dengan Raura di akhir minggu, atau bahkan sekedar meneleponnya di malam hari.

Siang ini di hari sabtu Chinen mendatangi rumah Raura untuk membantu gadis itu mengerjakan tugas. Begitulah rencananya.

“Ini puddingnya, Senpai,” Raura menaruh sepiring Pudding di atas meja belajarnya. Chinen mengangguk dan tersenyum.

“Sini, duduk!” Chinen menepuk tempat kosong di sebelahnya dan Raura menurut.

“Oh iya, Ryo-chan, Keito, Yuto dan aku, tentu saja dengan Rei-chan, kita akan ke gunung di minggu terakhir liburan. Kau mau ikut?”

“Eh? Tidak apa-apa? Aku…”

“Karena Raura-chan adalah pacarku, tentu saja tidak apa-apa, tapi kupikir aku harus minta izin kakakmu dulu,” ucap Chinen lalu memasukkan sepotong pudding ke mulutnya.

“Harusnya sih dia tidak kerja hari ini, tapi dia bilang tadi akan menjemput seseorang, mungkin saja Kou-chan punya pacar juga, hahaha,”

Chinen tersenyum, melingkarkan tangannya ke bahu Raura dan menariknya mendekat, “Kalau dipikir-pikir, aku paling suka senyummu,”

“Eh?”

“Kau tau kan, itulah kenapa aku menciummu saat kita pulang dari taman bermain,”

Raura mengerjapkan matanya tak percaya, sesaat kemudian Chinen sudah menciumnya lagi. Bibir mereka bertemu dan harusnya berhenti saat itu juga, namun Raura bisa merasakan manisnya bibir Chinen, rasa coklat, pikir Raura, rasa pudding coklat. Tapi, kali ini Chinen tidak menyudahinya, lidah Chinen mendesak masuk dan Raura menyambutnya dengan tak kalah semangatnya. Tubuh keduanya merapat; dada ke dada, bibir ke bibir.

“Raura!” pintu kamar terbuka dan sosok Kota muncul di ambang pintu, “Oops! Gomen! Ahahaha,”

“KOU-CHAN?!”

Chinen dan Raura langsung terlihat salah tingkah sementara Kota tertawa terpingkal-pingkal melihat keduanya panik dengan wajah merah padam.

“Ada apa Kou?” Raura tambah kaget melihat seseorang di ambang pintu, orang itu, memanggil kakaknya dengan sebutan ‘Kou’?

“Ah! Raura, aku sudah lama ingin mengenalkannya kepadamu, tapi berhubung aku tak pernah sempat maka baru kali ini aku akan mengenalkannya secara resmi,”

Raura mengerenyitkan dahi, “Maksudmu?”

“Ini Kei-chan, Inoo Kei-chan, mungkin kau mengenalnya sebagai Inoo-sensei?”

“Tunggu sebentar!” Raura beranjak dari tempatnya, “Kalian saling kenal?!” kini Raura sudah setengah berteriak.

“Tentu saja,” ucap Inoo dengan senyuman khasnya, “Aku pacar kakakmu,”

“EEEEHHHHH???!!!”

 

-THE END-

.

.

.

Prolouge

“Kau yakin sudah saatnya aku berkenalan dengan adikmu?” Inoo yang turun di halte, disambut oleh Kota.

“Tentu saja, dan terima kasih kau sudah menjaga adikku selama ini,”

“Kan sudah kubilang, apapun untukmu, Kou, lagipula aku pun kaget ketika ternyata aku ditugaskan di tempat adikmu bersekolah,”

Arigatou, Kei-chan,” tanpa malu-malu Kota menggenggam tangan Inoo, “Aishiteru yo,

“Aku tahu, tak usah mengulang-ulangnya!” tentu saja Inoo bohong, berapa kalipun Kota mengatakannya, ia akan selalu suka mendengarnya.

-THE END-

 

4 thoughts on “[Minichapter] Kimi Ni Attraction (Chapter 4) -END-

    1. Dinchan Post author

      Thank you for your comment!! ^^
      selalu seneng dapet komen baru. hehehe..
      kan ceritanya ‘attraction’ jadi pake ‘jet coaster’ hehe
      siip siip.. semangat jugaaa ^^)9

      Reply
  1. fukinyan

    Waaahh aku suka banget sama istilah “Jet Coaster Chinen” :3 bener2 cocok istilah itu untuk menggambarkan perasaan Raura pas sama Chinen X////3
    Ending nya ga nyangka banget ._. Ternyata Kou pacaran sama Kei XD

    Reply

Leave a reply to fukinyan Cancel reply